Dideng Dang Ayu
Dahulu kala ada seorang raja bergelar Pasak Kancing. Ia dikarunia dua orang anak, seorang putra dan seorang putri. Oleh duka kematian permaisuri, keadaan kerajaan menjadi kacau balau tak terurus, termasuklah dua putra raja bak yatim piatu. Masa remajanya terlunta karena sang ayah tak tentu rimbanya. Pembesar dan orang-orang istana sudah tak peduli pada raja dan anaknya. Bisa jadi karena tampuk kekuasaan sudah lengser dan lengsernya bukan atas garis keturunan, maka putus pulalah ikatan kekuasaan. Atau oleh tindakan kop tak berdarah terjadi perpindahan penguasa.
Sang putra raja tiada tahan menanggung beban tinggal di istana. Pamitlah ia dengan adinda putri untuk merantau menguak nasib menisik rezeki ke negeri orang. Tak ada kata yang dapat manampung kepiluan sang adik mengiringi kepergian kakak tercinta. Terban bumi terpijak, teserpih harapan untuk mendayung derita berdua.
Sebelum berpisah, kakak beradik membuat janji bila keduanya mempunyai keturunan, maka keduanya akan membuhul sebuah perkawinan.
Sang kakak merantau ke negeri Pusat Jala dan kemudian menjadi raja di sana. Dari perkawinannya lahirlah seorang putra yang diberi nama Dang Bujang.
Sementara adik perempuannya yang tinggal di Pasak Kancing memperoleh seorang anak perempuan bernama Putri Dayang Ayu.
Garis kehidupan kedua anak manusia itu jauh berbeda. Dang Bujang hidup sebagai anak raja, sedangkan Putri Dayang Ayu bak bumi dengan langit, bak siang dengan malam. Putri Dayang Ayu hidup dalam kemiskinan, tapi mempunyai kecantikan bak bidadari dari khayangan.
Menginjak dewasa, Dang Bujang dinobatkan sebagai putra mahkota. Acara penobatan sangat meriah. Sebuah pesta besar digelar. Semua pangeran dan putri-putri dalam negeri dan negeri-negeri sekitar kerajaan Pusat Jala ikut memeriahkan pesta penobatan itu.
Raja Pusat Jalo teringat akan janjinya, maka diundanglah Putri Dayang Ayu dan ibunya. Maksud hati sang raja akan mengumumkan pertunangan Dang Bujang dengan Putri Dayang Ayu.
Tanpa iringan kebesaran dan pakaian gemerlapan datanglah Putri Dayang Ayu dan ibunya. Malangnya sang nasib, hulubalang penjaga menahan di gerbang, dikiranya pengemis menadah sedekah. Baju compang camping akan menurunkan derajat pesta penobatan, pikir sang hulubalang.
Peristiwa di pintu gerbang menarik perhatian. Hampir seluruh peserta pesta keluar. Mereka terlena dan terkagum akan pancaran kecantikan Putri Dayang Ayu karena berbungkus baju lusuh dan compang camping. Dang Bujang yang sedang menari dengan seorang putri pilihannya sepi sendiri di tengah arena. Tak pelak lagi Dang Bujang merasa dihinakan. Tanpa tahu siapa yang datang dari anjungan istana Dang Bujang mengusir Putri Dayang Ayu dan ibunya dengan kata-kata yang terlalu menusuk hati.
Merasa dihinakan tiada tara, dengan hati teramat kecewa dan keperihan yang dalam, pulanglah Putri Dayang Ayu dan ibunya kembali ke Pasak Kancing.
Demonilah ado meh di tanjung
Karinak menjadi laro kain
Demonilah ado meh di kandang
Sanaklah menjadi orang lain
Arolah kain buekkan dinding
Buekkan dinding balai melintang
Uranglah lain kau tunjukkan runding
Lah nan sanak kau biakkan hilang
Dengan hati lara dan putus asa Putri Dayang Ayu melangkah lunglai.
Bahuma talang penyanit
Dapatlah padi di tangkai lebat
Manolah tanggo jalan ke langit
Duduk di bumi salahlah sukat
Betapa murkanya sang Raja Pusat Jalo mendengar perlakuan Dang Bujang terhadap Putri Dayang Ayu dan ibunya, "Kejar mereka dan kau tak kuizinkan kembali ke istana ini tanpa membawa Putri Dayang Ayu." Demikianlah titah sang raja pada putra mahkota, Dang Bujang.
Dalam perjalanan keputus-asaannya, Putri Dayang Ayu tidak kembali ke Pasak Kancing karena ibunya wafat di perjalanan. Jadilah ia merambah hutan rimba seorang diri berteman satwa yang ikut mengiringi. Seekor punai menyarankan agar putri pergi ke Bukit Sekedu. Ia pun dinasehati oleh dua ekor kera untuk menemui Dewa Tua.
Pada penguasa Bukit Sekedu, Nenek Rabiyah Sang Dewa Tua, tertumpahkanlah segala keperihan duka lara sang putri. Tercengang nenek Rabiyah menyimak kepedihan dan keputus-asaan Putri Dayang Ayu.
Ngan mendaki Bukit Sekedu
Ngan menurun dipasi merang
Ngan menangih bertudung baju
Mengenang badanlah bejalan surang
Serailah seompun di tengah laman
Anaklah punai menganjur kaki
Tinggallah dusun tinggallah laman
Tinggal sereto tepian mandi
Berbagai nasehat pertimbangan sang Dewa Tua tak bisa lagi menyurutkan kehendak Putri Dayang Ayu untuk menyatu dengan alam. Alam masih ramah menerimanya. Atas bimbingan dan petunjuk nenek Rabiyah, Putri Dayang Ayu menuju telago larangan. Bergabunglah ia dengan delapan putri yang sedang mandi gembira ria, berkecimpung menyimbah riak telaga yang membiru. Selendang pemberian nenek Rabiyah melekat erat di tubuh putri Dayang Ayu, ketika tubuh semampai putri terlelap di air telaga, diiringi pernik-pernik warna pelangi.
Sementara itu, dengan berbagai rintangan onak dan duri, lembah dan bukit banyak dituruni dan didaki, sampailah Dang Bujang ke puncak Bukit Sekedu. Sesuai pesan bunda Putri Dayang Ayu dan isyarat satwa di rimba, bersualah Dang Bujang dengan nenek Rabiyah. Nenek Rabiyah cukup waskita, akan maksud pengembaraan Dang Bujang, maka disuruhnya Dang Bujang ke telaga larangan agar dapat bersua dengan putri adik sepupunya.
Gemercik air terjun di hulu telaga larangan telah menyembunyikan kehadiran Dang Bujang di sana. Dang Bujang bingung mendapati sembilan putri sedang asyik mandi. Selain sama cantiknya, Dang Bujang sendiri tidak tahu yang mana Putri Dayang Ayu, adik sepupu yang sedang dicarinya.
Sampai kesembilan bidadari menghilang bersama senja dan sinar pelangi di angkasa, Dang Bujang hanya terpana dan terpaku dalam rasa yang tak menentu. Kembali nenek Rabiyah ditemuinya. Pesan sang nenek, putri yang terakhir turun ke telaga, dialah Putri Dayang Ayu.
Keesokan harinya, dengan berbekal pancing pemberian nenek Rabiyah, Dang Bujang menanti di telaga. Dengan merapal ajian yang diajarkan nenek Rabiyah, dipancingnyalah selendang terungguk di sembulan batu. Bidadari yang sedang turun mandi tak satu pun menyadari bahwa salah satu selendangnya telah berada di pelukan Dang Bujang.
Betapa terkejut dan sedihnya Putri Dayang Ayu ditinggal sendiri karena tak lagi dapat terbang bersama dewi-dewi yang lain. Pupus tali dewa dewi dimainkan nasib peruntungan yang seorang pun tak ada yang tahu akhirnya. Tak ada pilihan, selain mengikuti bujukan dan paksaan Dang Bujang untuk kembali ke istana kerajaan Pusat Jalo.
Kendati pesta perkawinan Dang Bujang dengan Putri Dayang Ayu sangat meriah, tujuh hari tujuh malam perhelatan akbar digelar, tapi tak berhasil memupus kesedihan Putri Dayang Ayu. Gundah gulana selalu mewarnai wajah ayu sang putri. Kebahagiaan dunia tak memupus kerinduannya pada kebahagiaan alam dewa-dewi.
Berbagai tabib negeri telah berupaya mengobati sang putri yang semakin hari badannya menyusut bak api dalam sekam. Puncak kerinduan tiba pada saat Putri Dayang Ayu melahirkan. Belum habis masa nipasnya, dengan tubuh lunglai sang putri tegak di anjungan istana. Rasa keperihan yang berbungkus kerinduan telah menghantar doa sang putri ke singgasana Penguasa Alam.
Secara perlahan tubuh Putri Dayang Ayu terangkat melayang melewati jendela anjungan istana. Ada rasa kasih sayang terpancar dari matanya yang bening berkilau linangan air mata mendengar tangisan bayinya di pembaringan. Rasa inilah yang membuhul kesempurnaannya ke alam nirwana.
Sang putri tak sepenuhnya menjelma menjadi dewi, tapi menjelma menjadi seekor elang dan terbang membumbung tinggi ke awan. Isak kepedihan hati dan kasih sayangnya pada anak yang ditinggalkannya terdengar sebagai kelik elang di angkasa. Orang selalu bercerita itulah jelmaan Putri Dayang Ayu yang sedang terbang membawa lara hatinya. Biasanya kelik itu terjadi sekitar menjelang tengah hari, disaat ia harus menyusui anaknya yang tak pernah lagi kesampaian.