Laman

Rabu, 01 April 2015

Kisah Sengeda Dan Gajah Putih

Sengeda Dan Gajah Putih


Pada masa lalu di dataran tinggi Gayo tinggal dua orang kakak beradik yakni, Sengeda dan Bener Meriah bersama ibu mereka. Suatu hari kedua kakak beradik itu menanyakan kepada ibunya siapakah keluarga mereka sebenarnya. Diterangkanlah oleh ibu mereka bahwa ayah mereka bernama Raja Lingga ke XIII, raja yang berkuasa di negeri Lingga. Sedangkan dari pihak ibu mereka adalah keluarga Sultan Malaka. Raja Lingga yang sekarang berkuasa adalah Abang kandung seayah dengan mereka. Sehabis menceritakan asal usul keluarga mereka sang ibu menyerahkan dua pusaka peninggalan almarhun ayahnya Raja Lingga XIII berupa sebilah pedang dan sebentuk cincin permata yang dalam dua benda pusaka tersebut terdapat tulisan yang bertuliskan bahwa kedua benda tersebut milik Raja Lingga yang diwariskan secara turun temurun pada keturunannya. Mendengar cerita tersebut keduanya sepakat untuk pergi ke Lingga untuk menemui Abang dan para kerabatnya.

Setelah mendapat izin dari ibunya, keduanya berangkat menuju Lingga. Sesampainya di sana dengan diantar oleh penguasa setempat, keduanya menghadap Raja Lingga XIV dengan hati penuh suka cita. Di halaman Umah Tujuh Ruang tempat Raja Lingga XIV bertahta mereka sangat terkagum-kagum akan keindahan tempat tersebut. Sesampainya di dalam Umah Tujuh Ruang mereka takjup akan keindahan dan kemewahan tempat tersebut. Mereka kagum akan kebesaran saudara mereka sebagai Raja Lingga XIV. Dihadapan raja dan para pembesar Kerajaan Lingga lainnya, mereka menceritakan maksud kedatangan mereka yang ingin bertemu dengan saudaranya dan juga para kerabat yang lain. Diceritakan pula bahwa mereka adalah anak dari Raja Lingga XIII dan juga keturunan keluarga Sultan Malaka. Tidak lupa mereka memperlihatkan pusaka pemberian ibu mereka kepada para hadirin sebagai bukti bahwa mereka keturunan Raja Lingga XIII.

Mendengar pengakuan dari kedua kakak beradik tersebut seluruh hadirin terharu dan merasa bersyukur bahwa keluarga mereka telah kembali. Namun dalam beberapa saat mereka terkejut akan ucapan Raja yang menuduh mereka berbohong. Menurut raja mereka bukanlah keluarga Raja Lingga XIII. Pusaka yang mereka miliki memang benar milik Raja Lingga XIII, tetapi pusaka tersebut telah dicuri oleh seseorang setelah membunuh Raja Lingga XIII. Dengan demikian kedua kakak beradik tersebut adalah pembunuh Raja Lingga XIII.

Mendengar tuduhan tersebut tentunya kedua kakak beradik terkejut bukan kepalang. Mereka sangat sedih bahwa mereka dituduh membunuh Ayah mereka. Atas dasar itu, raja pun memutuskan hukuman pada keduanya berupa hukuman mati. Mendengar titah raja yang demikian seluruh hadirin sangat terkejut. Para pembesar kerajaan berusaha meluruskan permasalahan dan meyakinkan raja bahwa kedua kakak beradik tersebut memang benar-benar anak Raja Lingga XIII. Dengan segala cara para hadirin yang terdiri dari para pembesar kerajaan dan kerabat istana membujuk raja untuk merubah keputusan, namun hati baginda raja telah membantu dan tetap memerintahkan kakak beradik tersebut untuk dihukum mati.

Untuk melaksanakan hukuman mati tersebut baginda raja memerintahkan seorang algojo untuk memancung Bener Meriah. Sedangkan Cik Serule salah seorang pembesar kerajaan ditugasi untuk memancung Sengeda. Atas perintah tersebut algojo yang berhati bengis ini langsung menyeret Bener Meriah dari Umah Tujuh Ruang untuk dipancung ditengah lapangan. Dalam sekejap akhirnya Bener Meriah merenggangkan nyawanya di tanggan algojo. Pakaian Bener meriah yang berlumuran darah dibawa algojo dan diserahkan pada raja sebagai bukti Bener meriah telah mati.

Sedangkan Sengeda dibawa Cik Serule ke suatu tempat untuk dibunuh. Dalam perjalanan ke tempat tersebut hati Sengeda hancur lebur menyaksikan kepergian saudaranya Bener meriah di tangan algojo atas perintah raja yang tamak. Sengeda telah pasrah dibawa kemanapun oleh Cik Serule.

Tanpa diduga sebelumnya oleh Sengeda, ternyata Cik Serule tidak membunuh Sengeda bahkan menyembunyikan Sengeda di suatu tempat tersembunyi. Untuk membuktikan bahwa perintah dari baginda Raja Lingga XIV telah dilaksanakan, Cik Serule meminta pakaian yang dikenakan Sengeda dan melumuri pakaian tersebut dengan darah binatang. Cik Serule memerintahkan Sengeda untuk tidak pergi meninggalkan tempat persembunyaian sampai beliau datang menjemputnya.

Setelah merasa aman, Cik Serule keluar dari tempat persembunyian dengan membawa pakaian Sengeda yang telah berlumuran darah. Di tengah perjalanan menuju Umah Tujuh Ruang, Cik Serule bertemu dengan sahabat-sahabatnya yang memprotes keputusan raja namun tidak berani membantahnya. Sesampainya di Umah tujuh Ruang tempat berdiamnya raja, Cik Serule menyerahkan pakaian Sengeda yang telah berlumuran darah sebagai bukti bahwa tugas membunuh Sengeda telah dilaksanakan. Melihat bukti tersebut Raja Lingga XIV merasa gembira, beliau yang hatinya penuh diliputi rasa iri dan dengki merasa puas musuhnya telah tiada.

Seusai menghadap raja, Cik Serule memohon izin untuk kembali ke rumahnya. Sebelum sampai ke rumahnya Cik Serule mampir ke tempat persembunyian Sengeda dengan membawa bahan-bahan kebutuhan hidup. Cik Serule berpesan kembali kepada Sengeda bahwa Sengeda harus tetap bersembunyi di tempat tersebut sampai dirinya kembali.

Di tempat persembunyian Sengeda hidup seorang diri. Berbagai aktivitas ia lakukan untuk mengusir kesepian. Namun, setelah cukup lama bersembunyi kesepian tetap menerpa Sengeda apalagi jika ia mengingat peristiwa kematian saudaranya Bener meriah.

Ketika kesepian itu tidak dapat terbendung lagi, Sengeda berniat meninggalkan tempat persembunyian, namun sebelum sampai niatnya itu terlaksana, Cik Serule tiba mengunjungi Sengeda di tempat persembunyian. Tanpa diduga oleh Sengeda sebelumnya, ternyata Cik Serule telah mempunyai rencana untuk dirinya. Cik Serule menyuruhnya untuk tinggal di kediaman Cik Serule. Selama tinggal di rumah Cik Serule Sengeda mengerjakan tugas menjaga kebun dan ternak milik Cik Serule. Selama mengerjakan tugasnya Sengeda bekerja sangat rajin. Melihat kerajinan dan kepatuhan Sengeda, Cik Serule merasa sayang dengannya. Oleh sebab itu Sengeda telah dianggap anak oleh Cik Serule.

Suatu hari dalam tidurnya Sengeda bertemu dengan saudaranya Bener meriah. Dalam mimpi tersebut Bener meriah memberi petunjuk agar Sengeda meminta izin pada Cik Serule untuk ikut mengiringi Cik Serule ke ibukota Kerajaan Aceh Darussalam. Sebagai bekal ke ibukota kerajaan Aceh Darussalam, Sengeda diperintahkan membawa sebilah pisau kecil yang sangat tajam dan sebilah upih betung yang terbagus dan terlebar.

Sesampai di ibukota Sengeda diharuskan mencari jalan agar dia dapat diizinkan memasuk ke dalam keraton Darul dunia. Pada hari persidangan Sengeda diperintahkan untuk duduk di Balai Gading (balai tempat istirahat raja-raja). Dalam mimpinya tersebut Bener meriah memerintahkan Sengeda melukis seekor gajah di upih betung dengan pisau kecil yang telah dibawa. Setelah selesai mainkanlah lukisan tersebut niscaya akan datang seorang putri menghampiri diri mu. Jika putri tersebut bertanya ukiran apakah itu, jawablah itu merupakan lukisan gajah putih yang cantik rupawan dan kuat. Jika ditanya keberadaan gajah putih tersebut jawablah berada di negeri Lingga dan jika Sultan bersedia menyuruhmu menangkap gajah putih tersebut, kamu sanggup melaksanakannya. Jangan takut aku akan selalu membantu mu. Demikianlah ucapan Bener meriah dalam mimpi Sengeda.

Terjaga dari mimpi tersebut, Sengeda berpikir dengan keras. Dia sadar bahwa apabila melaksanakan amanat Bener meriah dalam mimpinya itu, jika ketahuan maka nyawa Sengeda menjadi taruhannya. Selain itu juga keselamatan Cik Serule juga ikut terancam. Namun setelah mempertimbangkan masak-masak dan berdoa pada Allah s.w.t, Sengeda berteguh hati melaksanakan amanat Bener meriah.

Pada suatu hari terdengar rencana Cik Serule ke ibu kota kerajaan Aceh Darussalam sebagai utusan Raja Lingga menghadiri sidang tahunan. Mendengar rencana tersebut Sengeda teringat akan mimpinya, menghadaplah Sengeda pada Cik Surele dan memohon untuk diajak serta dalam rombongan Cik Serule ke ibukota kerajaan Aceh Darussalam. Mendengar permohonan tersebut Cik Serule mengabulkannya. Maka berangkatlah Sengeda beserta rombongan Cik Serule ke ibu kota kerajaan Aceh Darussalam.

Ketika telah berada di ibu kota kerajaan Aceh Darussalam, Sengeda berusaha mencari kesempatan untuk dapat masuk ke dalam keraton Darul Dunia. Ketika seluruh pembesar kerajaan Aceh Darussalam beserta utusan raja-raja taklukan sedang melaksanakan sidang, Sengeda berhasil masuk ke dalam keraton Darul dunia dan menuju Balai gading. Sesampai di sana ia memainkan lukisan gajah yang telah ia lukis di atas upih bambu yang telah ia persiapkan dari rumah. Pada saat memainkan lukisan tersebut, Sengeda kagum, karena pantulan cahaya matahari yang mengenai lukisan tersebut dan memantul kembali ke tembok keraton membuat lukisan gajah tersebut menjadi sangat indah. Sesuai dengan mimpinya, tidak berapa lama datanglah seorang putri yang ternyata salah seorang putri Sultan Aceh. Sang putri menanyakan gambar tersebut pada Sengeda. Diceritakan oleh Sengeda tentang gajah putih sesuai dengan petunjuk Bener meriah dalam mimpinya. Mendengar cerita Sengeda, hati Sang putri terpikat dan memohon pada ayahnya Sultan Aceh Darussalam untuk memerintahkan Cik Serule membawakan gajah putih.

Mendengar permintaan putrinya, Sultan Aceh memerintahkan Cik Serule untuk menangkap gajah putih yang dimaksud. Mendengar permintaan Sultan Aceh, Cik Serule bingung bukan kepalang karena dia tidak mengetahui pengetahuan sama sekali tentang gajah putih yang dimaksud. Mengetahui hal itu Sengeda menceritakan seluruh mimpinya pada Cik Serule dan menenangkan hati Cik Serule dengan menyatakan kesanggupannya untuk menangkap Gajah putih dan mempersembahkannya pada Sultan Aceh.

Setiba di Lingga, Cik Serule melaporkan perintah Sultan Aceh pada Raja Lingga XIV. Kemudian Raja Lingga XIV memerintahkan pada seluruh rakyat untuk membantu Cik Serule menangkap gajah putih.

Untuk menangkap gajah putih di rimba Gayo, Sengeda memohon pada Cik Serule mengadakan kenduri sekedarnya dan berdoa di makam saudaranya Bener meriah. Selain itu juga Sengeda meminta pada penduduk kampung yang akan ikut menangkap gajah putih untuk membawa berbagai macam alat musik untuk dimainkan setelah berdoa di makan Bener meriah. Mendengar permintaan Sengeda, hati Cik Serule merasa bingung tidak mengerti apa hubungan menangkap gajah putih dengan berdoa di makam Bener meriah. Namun karena keyakinannya terhadap Sengeda, Cik serule mengabulkannya.

Pada hari yang telah ditentukan berangkatlah Sengeda bersama Cik serule dan rombongan menuju makam Bener meriah dengan membawa bahan makanan untuk kenduri serta tidak lupa membawa alat-alat kesenian.

Sesampainya di makam Bener meriah mereka berdoa pada Allah s.w.t agar niat mereka dapat terlaksana dengan baik. Selesai berdoa mereka pun melaksanakan kenduri sambil memainkan alat-alat kesenian yang telah mereka persiapkan. Di saat bersamaan, Sengeda memerintahkan beberapa orang yang tidak membawa alat musik untuk menari. Dengan alunan sedih, Sengeda menyanyikan lagu yang menceritakan kesedihannya ditinggal saudara kandungnya Bener meriah. Tari, syair lagu dan alunan musik yang sedih tersebut membentuk suatu rangkaian yang sampai saat ini dikenal sebagai “Tari Guel”.

Ketika mereka sedang asik menari dan memainkan musik, tiba dari arah rumpun bambu muncul seekor gajah putih yang besar dan cantik. Melihat hal itu Sengeda memerintahkan para penduduk untuk terus memainkan tarian tersebut dengan hati yang ikhlas. Mendengar suara alunan musik dan gerak tari yang ritmis tersebut gajah putih bagaikan tersihir. Sengeda dengan didampingi Cik serule menghampiri gajah putih yang telah jinak tersebut untuk menangkap dan mengikatnya.

Keberhasilan Sengeda dan Cik serule menangkap gajah putih membuat hati Raja Lingga XIV berbunga-bunga membayangkan hadiah yang akan ia terima. Tanpa menunggu lama raja memerintahkan Sengeda dan Cik Serule untuk mendampinginya mengantar gajah putih tersebut ke ibukota kerajaan Aceh Darussalam untuk dipersembahkan pada Sultan Aceh. Selama dalam perjalanan sekali-kali Cik Serule menepung tawari gajah putih tersebut agar tetap jinak.

Singkat cerita sampailah rombongan ke hadapan Sultan Aceh. Melihat gajah putihyang diinginkannya putri sultan merasa gembira hatinya. Atas keberhasilan tersebut sultan memberikan hadiah dalam upacara kebesaran. Sebelum acara penyerahan hadiah dilaksanakan, Raja Lingga XIV menghampiri gajah putih untuk memamerkan pada seluruh negeri bahwa dia telah berhasil menangkap gajah putih. Tanpa diduga, gajah putih tersebut mengamuk dan menyemprotkan Raja Lingga dengan air lumpur. Untung saja kejadian tersebut cepat diketahui oleh Sengeda dan Cik serule sehingga raja lingga dapat diselamatkan dari amukan gajah.

Pada hari pemeberian hadiah, Sultan Aceh yang bijaksana sangat tertarik akan kisah Sengeda yang telah berhasil menangkap gajah putih. Maka ditanya pula asal usul Sengeda. Memenuhi permintaan Sultan, Sengeda dengan didampingi Cik Serule dan Raja Lingga XIV menceritakan dengan sebenarnya asal usul Sengeda dan tidak lupa diceritakan pula peristiwa kematian saudara kandungnya Bener Meriah. Untuk memperkuat cerita Sengeda, sultan memerintahkan untuk menghadirkan ibu Sengeda. Setibanya di ruang sidang, ibu Sengeda menceritakan kembali asal-usul Sengeda. Mendengar cerita Sengeda dan ibunya, murka lah baginda pada Raja Lingga XIV yang begitu bengis telah memerintahkan algojo untuk membunuh saudara sendiri. Atas perbuatannya tersebut sultan memutuskan menghukum mati Raja Lingga XIV.

Legenda Naga Erau dan Putri Karang Melenu

Naga Erau dan Putri Karang Melenu


Pada zaman dahulu kala di kampung Melanti, Hulu Dusun, berdiamlah sepasang suami istri yakni Petinggi Hulu Dusun dan istrinya yang bernama Babu Jaruma. Usia mereka sudah cukup lanjut dan mereka belum juga mendapatkan keturunan. Mereka selalu memohon kepada Dewata agar dikaruniai seorang anak sebagai penerus keturunannya.

Suatu hari, keadaan alam menjadi sangat buruk. Hujan turun dengan sangat lebat selama tujuh hari tujuh malam. Petir menyambar silih berganti diiringi gemuruh guntur dan tiupan angin yang cukup kencang. Tak seorang pun penduduk Hulu Dusun yang berani keluar rumah, termasuk Petinggi Hulu Dusun dan istrinya.
Pada hari yang ketujuh, persediaan kayu bakar untuk keperluan memasak keluarga ini sudah habis. Untuk keluar rumah mereka tak berani karena cuaca yang sangat buruk. Akhirnya Petinggi memutuskan untuk mengambil salah satu kasau atap rumahnya untuk dijadikan kayu bakar.

Ketika Petinggi Hulu Dusun membelah kayu kasau, alangkah terkejutnya ia ketika melihat seekor ulat kecil sedang melingkar dan memandang kearahnya dengan matanya yang halus, seakan-akan minta dikasihani dan dipelihara. Pada saat ulat itu diambil Petinggi, keajaiban alam pun terjadi. Hujan yang tadinya lebat disertai guntur dan petir selama tujuh hari tujuh malam, seketika itu juga menjadi reda. Hari kembali cerah seperti sedia kala, dan sang surya pun telah menampakkan dirinya dibalik iringan awan putih.

Seluruh penduduk Hulu Dusun bersyukur dan gembira atas perubahan cuaca ini. Ulat kecil tadi dipelihara dengan baik oleh keluarga Petinggi Hulu Dusun. Babu Jaruma sangat rajin merawat dan memberikan makanan berupa daun-daun segar kepada ulat itu. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, ulat itu membesar dengan cepat dan ternyata ia adalah seekor naga. Suatu malam, Petinggi Hulu Dusun bermimpi bertemu seorang putri yang cantik jelita yang merupakan penjelmaan dari naga tersebut.

“Ayah dan bunda tak usah takut dengan ananda.” kata sang putri, “Meskipun ananda sudah besar dan menakutkan orang di desa ini, izinkanlah ananda untuk pergi. Dan buatkanlah sebuah tangga agar dapat meluncur ke bawah.” Pagi harinya, Petinggi Hulu Dusun menceritakan mimpinya kepada sang istri. Mereka berdua lalu membuatkan sebuah tangga yang terbuat dari bambu. Ketika naga itu bergerak hendak turun, ia berkata dan suaranya persis seperti suara putri yang didengar dalam mimpi Petinggi semalam.

“Bilamana ananda telah turun ke tanah, maka hendaknya ayah dan bunda mengikuti kemana saja ananda merayap. Disamping itu ananda minta agar ayahanda membakar wijen hitam serta taburi tubuh ananda dengan beras kuning. Jika ananda merayap sampai ke sungai dan telah masuk kedalam air, maka iringilah buih yang muncul di permukaan sungai.” Sang naga pun merayap menuruni tangga itu sampai ke tanah dan selanjutnya menuju ke sungai dengan diiringi oleh Petinggi dan isterinya.

Setelah sampai di sungai, berenanglah sang naga berturut-turut 7 kali ke hulu dan 7 kali ke hilir dan kemudian berenang ke Tepian Batu. Di Tepian Batu, sang naga berenang ke kiri 3 kali dan ke kanan 3 kali dan akhirnya ia menyelam. Di saat sang naga menyelam, timbullah angin topan yang dahsyat, air bergelombang, hujan, guntur dan petir bersahut-sahutan. Perahu yang ditumpangi petinggi pun didayung ke tepian. Kemudian seketika keadaan menjadi tenang kembali, matahari muncul kembali dengan disertai hujan rintik-rintik. Petinggi dan isterinya menjadi heran. Mereka mengamati permukaan sungai Mahakam, mencari-cari dimana sang naga berada.

Tiba-tiba mereka melihat permukaan sungai Mahakam dipenuhi dengan buih. Pelangi menumpukkan warna-warninya ke tempat buih yang meninggi di permukaan air tersebut. Babu Jaruma melihat seperti ada kumala yang bercahaya berkilau-kilauan. Mereka pun mendekati gelembung buih yang bercahaya tadi, dan alangkah terkejutnya mereka ketika melihat di gelembung buih itu terdapat seorang bayi perempuan sedang terbaring didalam sebuah gong. Gong itu kemudian meninggi dan tampaklah naga yang menghilang tadi sedang menjunjung gong tersebut. Semakin gong dan naga tadi meninggi naik ke atas permukaan air, nampaklah oleh mereka binatang aneh sedang menjunjung sang naga dan gong tersebut.

Petinggi dan istrinya ketakutan melihat kemunculan binatang aneh yang tak lain adalah Lembu Swana, dengan segera petinggi mendayung perahunya ke tepian batu. Tak lama kemudian, perlahan-lahan Lembu Swana dan sang naga tenggelam ke dalam sungai, hingga akhirnya yang tertinggal hanyalah gong yang berisi bayi dari khayangan itu. Gong dan bayi itu segera diambil oleh Babu Jaruma dan dibawanya pulang. Petinggi dan istrinya sangat bahagia mendapat karunia berupa seorang bayi perempuan yang sangat cantik. Bayi itu lalu dipelihara mereka, dan sesuai dengan mimpi yang ditujukan kepada mereka maka bayi itu diberi nama Puteri Karang Melenu. Bayi perempuan inilah kelak akan menjadi istri raja Kutai Kartanegara yang pertama, Aji Batara Agung Dewa Sakti.