Laman

Jumat, 20 Juni 2014

Cerita Rakyat Padi Sebesar Kelapa

Padi Sebesar Kelapa 


Dahulu kala di daerah Teluk Pandak terdapatlah sebuah padi sebesar buah kelapa. Masyarakat setempat tidak pernah tahu dari mana asalnya. Padi itu ditemukan oleh seorang penduduk di sekitar rumahnya. Padi yang ditemukan itu bukanlah padi lengkap dengan batangnya, namun hanya sebuah biji padi sebesar kelapa lengkap dengan cangkangnya. Penduduk Teluk Pandak percaya bahwa padi itu merupakan titisan dari Dewi Sri. Mereka seperti mendapatkan berkah dengan turunnya padi itu ke tempat mereka.

Saat musim tanam tiba, masyarakat membawa padi sebesar kelapa tersebut ke sawah yang akan ditanami. Setelah padi di tanam, masyarakat berkumpul untuk melakukan doa bersama agar padi yang ditanam mendapat berkah dari Tuhan. Sekelompok muda-mudi membawakan tari Dewi Sri. Tarian itu diiringi oleh lagu yang bersyair doa dan pujian kepada Tuhan. Lagu itu mereka namakan dengan Nandung. Kulit padi mereka pukul-pukul sebagai gendang pengiring tarian Dewi Sri.

Waktu terus berjalan. Musim panen pun tiba. Masyarakat kembali berkumpul dan bersama-sama melakukan panen. Panen pertama ini mereka lakukan hanya untuk sebagian kecil padi yang akan digunakan untuk acara makan bersama. Saat akan menuai padi, mereka menimang-nimang padi titisan Dewi Sri itu sambil melantunkan puji-pujian kepada Tuhan atas keberhasilan tanaman mereka. Padi yang sudah dituai kemudian diirik dengan kaki. Setelah itu padi dijemur. Setelah menjadi beras, padi itu dimasak dan dipersiapkanlah sebuah acara makan bersama. Dalam acara itu padi sebesar kelapa itu kembali dibawa. Sebelum makan mereka melagukan syair-syair yang intinya adalah syukuran, doa mohon keberkahan, dan keselamatan kepada Tuhan. Acara makan pun selesai. Keesokan harinya masyarakat secara bersama-sama memanen seluruh padi.

Setelah seluruh padi selesai dipanen, tumbuhlah anak padi dari bekas batang padi yang tinggal. ini lebih kecil. Mereka menamakan padi yang lebih kecil itu dengan Salibu. Padi itu ukurannya lebih kecil dari ukuran padi biasa. Salibu itu kemudian di panen. Setelah dipisahkan dari cangkangnya, Salibu kemudian digonseng dan ditumbuk hingga berbentuk emping. Proses menggonseng hingga menumbuk Salibu dilakukan oleh muda-mudi dari sore hingga malam hari. Selama proses itu tidak jarang ada muda-mudi yang akhirnya berjodoh. Emping dari Salibu kemudian dimakan bersama-sama dalam acara pernikahan muda-mudi yang berjodoh itu.

Kisah Nabi Yusuf Di Mesir Bahasa Inggris

Nabi Yusuf


The Pharaoh of Egypt called Firawn had many people working for him. One of his assistants had a very wicked wife who said many things about Yusuf that were quite untrue. She thought she loved him but he told her that she should honour her husband.

She became very angry and persuaded her husband to have Yusuf put in prison. While he was in prison, Yusuf used to tell everyone what their dreams meant and his explanation of the dreams always came true.

Allah had given Yusuf this great gift. Firawn kept having a strange dream and none of his wise men could explain what it meant. Then Firawn heard of Yusuf's great gift and sent for him. Yusuf would not leave the prison until he had proven his innocence. Firawn had an inquiry and discovered that Yusuf really was innocent, so he was able to leave prison.

Firawn's dream was most unusual. In it, he saw seven skinny cows eat seven big fat ones and there were seven skinny ears of wheat and seven fat ears of wheat. Yusuf explained that this meant there would be seven years of plenty but seven years of famine would follow, when there would be no water and no food for anyone.

After that there would be a year of rain. Firawn liked and trusted Yusuf so he put him in charge of all the store houses in the land. Yusuf had worked himself up to a very powerful position. Allah always rewards good people. Yusuf worked hard; he made sure the store houses were filled with wheat and grain. Just as he had said, there were seven years of plenty. Those years passed very quickly. Soon the seven years of famine came. The crops failed. People were hungry. Others were starving.

Yusuf had planned for this. He opened his stores and let everyone have some of the wheat. Back in Palestine, Israil too was facing a hard time with no food for his family or the animals. He sent his sons to Egypt to get grain from the famous treasurer of Egypt. When they arrived they were told that they must get permission from the governor to buy grain.

They went to see him, but did not realise that the fine man, in splendid robes was really their brother. He told them they could have some grain, but if they wanted any more, they would have to come with their youngest brother and parents.

Yusuf had recognised them straight away and he longed to see his father, mother and young brother Benjamin again. Eventually the eleven brothers returned with their mother and father. They bowed down before Yusuf. Yusuf put his father on his throne and reminded him of the dream he had had so long ago. The sun, the moon and eleven stars had bowed down before him just as his father, mother and brothers had done at this meeting, This was a great moment in his life and he thanked Allah, for all He had done for him.

Awal Mula Terjadinya Pawukon (zodiak Jawa)

Pawukon

Ketika Batara Guru mendengar bahwa Raja Gilingwesi akan naik ke Suralaya, segera memanggil para dewa. Ditawarkan kepada mereka siapakah yang berani menghadapi Prabu Watu-Gunung, namun tidak ada satu pun diantara para dewa yang berani. Sanghyang Narada menyarankan agar Batara Guru memanggil Batara Wisnu, putranya, dan dijanjikan, jika mampu mengalahkan Prabu Watu-Gunung kesalahannya dimaafkan dan dosanya dihapuskan. Batara Guru menerima saran tersebut, maka diutuslah Sanghyang Narada turun ke bumi menemui Batara Wisnu yang sedang bertapa di bawah pohon beringin tujuh. Kesepakatan didapat, bahwa Batara Wisnu sanggup menghadapi Raja Gilingwesi, tetapi ia mohon diijinkan kembali kenegaranya untuk menemui istrinya yang waktu dirinya diusir atas perintah Batara Guru isterinya sedang mengandung. Waktu itu, sebelum Batara Wisnu meninggalkan istrinya, ia berpesan:

“Jika nanti anak tersebut lahir laki-laki, berilah nama Srigati.”

Tentunya jika anak tersebut selamat sekarang telah menjadi jejaka, karena belasan tahun sudah Batara Wisnu bertapa. Betapa gembiranya Batara Wisnu mendapatkan anak dan istrinya dalam keadaan baik dan sehat. Setelah sejenak mereka saling melepas rindu, batara Wisnu memberitahukan bahwa dirinya tidak bisa berlama-lama karena harus segera ke Suralaya, ada perintah mendesak dari Batara Guru untuk menghadapi Raja Gilingwesi. Bambang Srigati menyatakan diri ingin ikut ayahnya ke Suralaya, namun Batara Wisnu tidak memperbolehkan.

Dengan berat hati batara Wisnu pamit meninggalkan istri dan anaknya, menemui Sanghyang Narada di bawah tujuh pohon beringin. raden Srigati yang ditinggal tersebut menyusul ayahnya. Sesampainya di beringin tujuh, ia duduk di belakang Sanghyang Narada. Setelah mengetahui putranya menyusul, Batara Wisnu berkeinginan mengajak Raden Srigati ke Suralaya. Tetapi Sanghyang Narada tidak memperbolehkan, dikhawatirkan dapat membangunkan murkanya Batara Guru. Akhirnya Srigati ditinggal di bawah beringin tujuh, namun secara diam-diam Raden Srigati mengikuti perjalanan Sanghyang Narada dan Batara Wisnu. Setelah sampai di Suralaya dan menghadap Batara Guru, tiba-tiba Raden Srigati telah duduk dibelakang ayahandanya. Ketika melihat ada pemuda tampan, Batara Guru bertanya kepada Sanghyang Narada, siapakah anak muda tampan tersebut. Sanghyang Narada memberitahukan bahwa ia anak Batara Wisnu yang lahir dari rahim putri di Mendang. Mendengar jawaban Sanghyang Narada, Batara Guru sangat murka, ia berdiri dan meninggalkan tempat duduknya. Melihat gelagat yang tidak baik, Sanghyang Narada menyusul Batara Guru. Perintah baru dititahkan, Sanghyang Narada, diminta untuk membunuh Raden Srigati, sebagai tumbal negara, dan memerintahkan batara Wisnu segera menghadang musuh.

Namun sebelum perintah Batara Guru itu terlaksana, diluar terdengar suara gemuruh bersamaan datangnya musuh. Batara Guru gemetar ketakutan, minta pertimbangan kepada Sanghyang Narada, bagaimana sebaiknya. Sanghyang Narada menyarankan agara batara Guru membatalkan niatnya untuk membunuh Raden Srigati. Karena hal tersebut akan membuat Batara Wisnu tidak mau perang menghadang musuh, dengan demikian musuh akan dengan leluasa dapat merusak Suralaya. Batara Guru menuruti saran Sanghyang Narada, dan memutuskan tidak jadi membunuh Raden Srigati. dan segera memerintahkan Batara Wisnu untuk menghadapi musuh.

Batara Wisnu bersama dengan anaknya keluar dari tempat para dewa untuk menghadapi raja Gilingwesi. Setelah berhadap-hadapan dengan prabu Watu-Gunung, sang raja menawarkan perang dengan cara cangkriman (teka-teki). Jika Batara Wisnu dapat menebak cangkrimannya, Prabu Watu-Gunung dengan sukarela menyediakan diri untuk dibunuh. Tetapi jika Batara Wisnu tidak dapat menebak cangkriman, para dewa di Suralaya segera menyerah, dan menyerahkan para bidadari untuk diambil isteri.

Batara Wisnu menuruti apa yang di kehendaki Prabu Watu-Gunung. Maka sang raja membeberkan cangkrimannya. Ada sebuah pohon kecil tetapi buahnya besar dan ada pohon besar tetapi buahnya kecil, pohon apakah itu? Cangkriman tersebut di tebak oleh Batara Wisnu. Bahwa pohon yang kecil besar buahnya adalah pohon semangka. Sedangkan pohon yang besar kecil buahnya adalah pohon beringin. Sang raja tidak mampu berkata-kata, seperti janjinya ia menyerahkan dirinya. Batara Wisnu melepaskan senjata Cakra, dan Prabu Watu-Gunung tewas di medan perang. Balatentara yang berjumlah besar melarikan diri meninggalkan Suralaya.

Sepeninggalnya prabu Watu-Gunung, Dewi Sinta menangis berkepanjangan, hatinya sangat bersedih. Dampak dari kesedihan Dewi Sinta para dewa di Suralaya gelisah hatinya, mengalami situasi yang tidak menyenangkan. Dan hal tersebut bakal mendatangkan huru-hara besar. Batara Guru bertanya kepada Sanghyang Narada, apa yang menyebabkan gara-gara ini. Sanghyang Narada memberitahukan bahwa penyebabnya adalah menangisnya Dewi Sinta karena bersedih atas meninggalnya Prabu Watu-Gunug. Batara Guru lalu memerintahkan kepada Sanghyang Narada untuk turun menemui Dewi Sinta agar mau menghentikan tangisnya, dan dijanjikan dalam tiga hari Prabu Watu-Gunung akan dihidupkan lagi, dan menjadi raja kembali di Negara Giling-Wesi. karena janji itu Dewi Sinta menghetikan tangisnya, dan saat itu juga sasana di Suralaya menjadi tenang kembali.

Namun setelah sampai tiga hari, Prabu Watu-Gunung tidak kelihatan datang, Dewi Sinta nangis kembali, dan mendatangkan kegelisahan dan kekacauan yang lebih besar di Suralaya. Batara Guru bertanya lagi kepada Sanghyang Narada apa penyebabnya gara-gara ini. Sanghyang Narada berkata bahwa gara-gara ini disebabkan oleh hal yang sama yaitu tangis Dewi Sinta, karena sudah tiga hari Prabu Watu-Gunung belum kembali ke negara Gilingwesi. Kemudian Batara Guru memerintahkan Sanghyang Narada, untuk menghidupkan Prabu Watu-Gunung, serta mengembalikan di negara Gilingwesi.

Setelah Prabu Watu-Gunung dihidupkan oleh Sanghyang Narada, disuruh kembali di Gilingwesi, ia tidak mau, dikarenakan sudah kerasan di surga. Bahkan Prabu Watu-Gunung memohon agar kedua isterinya dan ke 27 anak di angkat ke surga, menjadi satu dengannya. Guru mengabulkan permohonan tersebut, serta memerintahkan agar mengangkat isteri dan anak Prabu Watu-Gunung ke surga.

Proses pengangkatan dua isteri serta 27 anak Prabu Watu-Gunung ke surga dilakukan satu persatu pada setiap minggu. Inilah permulaan adanya 30 wuku yang dijadikan dasar perhitungan Pawukon atau zodiak Jawa.

Asal Usul Pohon Sagu Dan Palem

Asal Usul Pohon Sagu dan Palem 


Alkisah, di daerah Donggala, Sulawesi Tengah, hidup sepasang suami-istri bersama seorang anak lelakinya. Mereka tinggal di sebuah rumah tua yang terletak di pinggir hutan Dolo. Hidup mereka sangat miskin. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka mencari buah-buahan dan hasil hutan lainnya yang tersedia di sekitar mereka.

Semakin lama sang Suami pun merasa bosan hidup dengan keadaan seperti itu. Akhirnya, timbullah niatnya ingin membuka lahan perkebunan yang akan ditanami dengan berbagai jenis tanaman palawija dan sayur-sayuran. Suatu hari, ia pun menyampaikan niat baiknya tersebut kepada istrinya.

“Dik! Bagaimana kalau kita berkebun saja? Aku sudah bosan hidup seperti ini terus,” ungkap sang Suami.

Alangkah senang hati sang Istri mendengar rencana suaminya. Ia merasa bahwa suaminya akan berubah untuk tidak bermalas-malasan bekerja.

“Bang, kita mau berkebun di mana? Bukankah kita tidak mempunyai lahan untuk berkebun?” tanya sang Istri.

“Tenang, Dik! Besok Abang akan membuka hutan untuk dijadikan lahan perkebunan,” jawab sang Suami.

“Baiklah kalau begitu, aku setuju,” kata sang Istri.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali sang Suami berangkat ke hutan Dolo. Setelah beberapa lama menyusuri hutan, ia pun menemukan tempat yang cocok untuk dijadikan lahan perkebunan. Sementara itu, sang Istri bersama anaknya menunggu di rumah sambil menyiangi rerumputan yang tumbuh di pekarangan rumah agar ular tidak mengganggu mereka.

Menjelang sore hari, sang Suami pulang dari hutan sambil membawa buah-buahan untuk persiapan makan malam mereka. Istrinya pun menyambutnya dengan penuh harapan. Usai menyuguhkan minuman, sang Istri bertanya kepada suaminya.

“Bang, bagaimana hasilnya? Apakah Abang sudah menemukan tempat yang cocok untuk dijadikan lahan perkebunan?”

“Iya, Dik! Abang sudah menemukan sebidang tanah yang subur,” jawab sang Suami.

Mendengar jawaban suaminya, sang Istri merasa gembira. Ia berharap dengan adanya pekerjaan baru tersebut kehidupan keluarga mereka akan menjadi lebih baik suatu hari kelak.

“O iya, Bang! Kalau Adik boleh tahu, di mana letak lahan itu?” sang Istri kembali bertanya.

“Letaknya tidak jauh dari rumah kita,” jawab sang Suami.

“Syukurlah kalau begitu, Bang! Kita tidak perlu berjalan jauh untuk mencapainya. Lalu, kapan Abang akan memulai membuka lahan?” tanya sang Istri.

“Kalau tidak ada aral melintang, besok Abang akan memulainya,” jawab sang Suami dengan penuh keyakinan.

Beberapa saat kemudian, hari sudah mulai gelap. Sang Istri pun menyiapkan makan malam seadanya. Usai makan malam, keluarga miskin tersebut beristirahat setelah hampir seharian bekerja.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali sang Suami berangkat ke hutan sambil membawa parang dan cangkul. Sesampainya di tempat yang akan dijadikan lahan perkebunan, tiba-tiba muncul sifat malasnya. Ia bukannya membabat hutan, melainkan duduk termenung sambil memerhatikan pepohanan yang tumbuh besar dan hijau di hadapannya. Sementara itu, istri dan anaknya sedang menunggu di rumah dengan penuh harapan. Sang Istri mengharapkan agar suaminya segera membuka lahan perkebunan.

“Anakku! Jika Ayahmu telah selesai membuka lahan perkebunan, kita bisa membantunya menanam sayur-sayuran dan umbi-umbian di kebun,” ujar sang Ibu kepada anaknya.

“Bolehkah aku ikut membantu, Ibu?” tanya anaknya.

“Tentu, Anakku! Ayahmu pasti sangat senang jika kamu juga ikut membantunya,” jawab sang Ibu sambil tersenyum.

Menjelang sore hari, sang Suami pulang dari hutan. Ia pun disambut oleh istrinya dengan suguhan air minum. Setelah suaminya selesai minum dan rasa capeknya hilang, sang Istri pun kembali menanyakan tentang hasil pekerjaannya hari itu.

“Bagaimana hasilnya hari ini, Bang?”

“Belum selesai, Dik!” jawab sang Suami.

Keesokan harinya, sang Suami kembali ke hutan. Setiba di sana, ia pun kembali hanya duduk termenung. Begitulah pekerjaannya setiap hari. Begitupula jika ditanyai oleh istrinya tentang hasil pekerjaannya, ia selalu menjawab “belum selesai”.

Oleh karena penasaran ingin melihat hasil pekerjaan suaminya, suatu siang sang Istri menyusulnya ke hutan tempatnya bekerja. Sesampainya di tempat itu, ia mendapati suaminya duduk termenung sambil bersandar di bawah sebuah pohon. Alangkah kecewanya sang Istri, karena lahan perkebunan yang diharapkannya tidak terwujud.

“Bang! Mana lahan perkebunan itu?” tanya sang Istri.

Mendengar pertanyaan istrinya itu, sang Suami bukannya menjawabnya. Akan tetapi, ia segera bangkit dari tempat duduknya, kemudian langsung pulang dengan perasaan marah. Rupanya, ia merasa tersinggung karena istrinya menyusul ke hutan. Mengetahui suaminya marah, sang Istri pun mengikutinya dari belakang.

Sesampai di rumah, kemarahan sang Suami semakin memuncak. Ia melampiaskan kemarahannya dengan membanting barang-barang yang ada di dalam rumahnya. Sang Istri yang tidak menerima kelakuan suaminya itu langsung berlari menuju ke hutan sambil menangis. Sesampainya di tengah hutan, ia langsung menceburkan diri ke dalam sebuah telaga.

Sementara itu, sang Suami yang baru menyadari akibat dari kelakuannya segera mengajak anaknya untuk menyusul istrinya ke tengah hutan.

“Ayo Anakku, kita susul Ibumu ke hutan!” ajak sang Ayah sambil menarik tangan anaknya.

“Baik, Ayah!” jawab anaknya.

Sesampainya di tengah hutan, tidak jauh dari hadapan mereka terlihatlah sang Istri berada di tengah telaga. Tubuhnya sedikit demi sedikit menjelma menjadi pohon sagu. Melihat peristiwa itu, ayah dan anak itu pun segera berlari mendekati telaga.

“Maafkan aku, Dik! Kembalilah!” teriak sang Suami.

“Ibu..., Ibu.... Aku ikut!” teriak anaknya sambil menangis.

“Kamu di sini saja, Anakku! Tidak usah ikut ibumu, sebentar lagi dia kembali,” bujuk sang Ayah.

“Tidak Ayah! Aku mau ikut Ibu,” kata anaknya meronta-ronta.

Sang Ayah terus berusaha membujuk anaknya agar berhenti menangis. Namun, sang Anak tetap menangis dan bersikeras ingin ikut ibunya. Saat sang Ayah lengah, si anak pun berlari dan terjun masuk ke dalam telaga. Maka seketika itu pula, ia menjelma menjadi sebatang pohon sagu seperti ibunya.

Setelah melihat peristiwa itu, barulah sang Suami sadar dan menyesali semua perbuatannya.

“Maafkan aku, Istriku! Maafkan aku, Anakku! Aku sangat menyesal atas semua perbuatanku kepada kalian,” ucapnya sambil menangis berderai air mata.

Berulang kali sang Suami meminta maaf kepada istri maupun kepada anaknya. Namun, apa hendak dikata, nasi sudah menjadi bubur. Menyesal kemudian tiadalah guna. Istri dan anaknya telah menjelma menjadi pohon sagu. Ia pun tidak ingin hidup sendirian tanpa istri dan anaknya. Akhirnya, ia pun ikut terjun ke dalam telaga itu. Ketika itu pula ia pun menjelma menjadi sebatang pohon palem.