Laman

Selasa, 09 Desember 2014

Cerita Rakyat Putri Kandita

Putri Kandita


Alkisah, di daerah Pakwan (kini Kota Bogor), Jawa Barat, tersebutlah seorang raja bernama Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi yang bertahta di Kerajaan Pakuan Pajajaran. Ia adalah raja yang arif dan bijaksana. Sang Prabu juga mempunyai seorang permaisuri yang cantik jelita dan beberapa selir yang cantik-cantik. Dari hasil perkawinannya dengan sang permaisuri lahir seorang putri yang bernama Putri Kandita.

Putri Kandita memiliki paras yang cantik melebihi kecantikan ibunya. Ia merupakan putri kesayangan Prabu Siliwangi. Ketika ia mulai dewasa, sifat arif dan bijaksana seperti yang dimiliki oleh sang ayah mulai muncul pada dirinya. Tidak mengherankan jika Prabu Siliwangi bermaksud mencalonkan Putri Kandita sebagai penggantinya kelak. Namun, rencana tersebut ternyata tidak disukai oleh para selir dan putra-putrinya yang lain. Oleh karena itu, mereka pun bersekongkol untuk mengusir Putri Kandita dan ibunya dari istana.

Suatu malam, para selir Prabu Siliwangi dan putra-putri mereka mengadakan pertemuan rahasia di dalam istana.

“Bagaimana cara menyingkirkan Putri Kandita dan permaisuri dari istana ini tanpa sepengetahuan Prabu?” tanya salah seorang selir.

“Kita harus berhati-hati karena jika Prabu mengetahui rencana ini, maka kita semua akan binasa,” ujar selir yang lain.

Sejenak, suasana pertemuan itu menjadi hening. Semuanya sedang berpikir keras untuk mencari cara yang paling tepat agar rencana mereka dapat terlaksana tanpa sepengetahuan Prabu Siliwangi.

“Sekarang aku tahu caranya,” sahut seorang selir yang lain memecah suasana keheningan.

“Apakah caramu itu?” tanya semua peserta rapat serentak.

“Aku mempunyai kenalan seorang dukun yang terkenal dengan kesaktian ilmu hitamnya. Dukun itu pasti mau membantu kita jika kita memberinya upah yang besar,” jawab selir itu.

Semua peserta rapat setuju dengan cara tersebut. Pada esok hari, para selir mengutus seorang dayang-dayang istana untuk menemui dukun itu di gubuknya di sebuah desa yang letaknya cukup jauh dari istana. Setelah menjelaskan maksud kedatangannya, utusan itu kemudian menyerahkan sejumlah keping uang logam emas kepada sang dukun. Tanpa berpikir panjang, sang dukun pun langsung menyanggupi permintaan para selir tersebut.

Setelah utusan selir itu kembali ke istana, sang dukun segera melaksanakan tugasnya. Dengan ilmu hitam yang dimiliki, dukun itu menyihir Putri Kandita dan ibunya dengan penyakit kusta sehingga sekujur tubuh mereka yang semula mulus dan bersih, timbul luka borok dan mengeluarkan bau tidak sedap. Prabu Siliwingi heran melihat penyakit borok itu tiba-tiba menyerang putri dan permaisurinya secara bersamaan. Ia pun segera mengundang para tabib untuk mengobati penyakit tersebut.

Para tabib dari berbagai negeri sudah didatangkan, namun tak seorang pun yang mampu menyembuhkan penyakit Putri Kandita dan sang permaisuri. Bahkan, penyakit sang permaisuri semakin hari semakin parah dan menyebarkan bau busuk yang sangat menyengat. Tubuhnya pun semakin lemah karena tidak mau makan dan minum. Selang beberapa hari kemudian, sang permaisuri menghembuskan nafas terakhirnya.

Kepergian sang permaisuri benar-benar meninggalkan luka yang sangat dalam bagi seluruh isi istana, khususnya Prabu Siliwingi. Sejak itu, ia selalu duduk termenung seorang diri. Satu-satunya harapan yang dapat mengobati kesedihannya adalah Putri Kandita. Namun harapan itu hanya tinggal harapan karena penyakit sang putri tak kunjung sembuh. Keadaan itu pun tidak disia-siakan oleh para selir dan putra-putrinya. Mereka bersepakat untuk menghasut Prabu Siliwangi agar segera mengusir Putri Kandita dari istana.

“Ampun, Baginda Prabu! Izinkanlah Hamba untuk menyampaikan sebuah saran kepada Baginda,” pinta seorang selir.

“Apakah saranmu itu, wahai selirku? Katakanlah,” jawab Prabu Siliwingi.

“Begini Baginda. Kita semua sudah tahu bahwa keadaan penyakit Putri Kandita saat ini semakin parah dan sulit untuk disembuhkan. Jika sang putri dibiarkan terus tinggal di istana, Hamba khawatir penyakitnya akan membawa malapetaka bagi negeri ini,” hasut seorang selir.

Mulanya, Prabu Siliwangi merasa berat untuk menerima saran itu karena begitu sayangnya kepada Putri Kandita. Namun karena para selir terus mendesaknya, maka dengan berat hati ia terpaksa mengusir Putri Kandita dari istana. Dengan hati hancur, Putri Kandita pun meninggalkan istana melalui pintu belakang istana. Ia berjalan menuruti ke mana kakinya melangkah tanpa arah dan tujuan yang pasti. Setelah berhari-hari berjalan, Putri Kandita tiba di pantai selatan. putri Prabu Siliwingi yang malang itu bingung harus berjalan ke mana lagi. Di hadapannya terbentang samudera yang luas dan dalam. Tidak mungkin pula ia kembali ke istana.

“Ah, aku letih sekali. Lebih baik aku beristirahat dulu di sini,” keluh Putri Kandita seraya merebahkan tubuhnya di atas sebuah batu karang.

Sang Putri tampak begitu kelelahan sehingga dalam beberapa saat saja ia langsung tertidur. Dalam tidurnya, ia mendengar sebuah suara yang menegurnya.

“Wahai, Putri Kandita! Jika kamu ingin sembuh dari penyakitmu, berceburlah ke dalam lautan ini! Niscaya kulitmu akan pulih seperti sediakala,” ujar suara itu.

Putri Kandita pun cepat-cepat bangun setelah mendengar suara itu.

“Apakah aku bermimpi?” gumamnya sambil mengusap-usap matanya tiga kali.

Setelah itu, sang Putri mengamati sekelilingnya, namun tak seorang pun yang dilihatnya.

“Aku mendengar suara itu dengan sangat jelas. Tetapi kenapa tidak ada orang di sekitar sini? Wah, jangan-jangan ini wangsit,” pikirnya.

Kemudian Putri Kandita menuruti bisikan suara itu dan menceburkan diri kedalam samudera yang luas. Lalu keajaibanpun terjadi, kulit Putri Kandita sembuh dan kembali seperti sediakala. Dia menjelmajadi Putri penguasa samudra selatan yang dikenal dengan nama Nyi Roro Kidul.  

Recount Text My Best Friend, Haruka

My Best Friend, Haruka


In Senior high school, I had best friend from Korea. Her name was Haruka. She was beautiful, smart, and low profile. For that many people loved her, included of me myself. It was because, even though she was from foreign country that considered by many students would be arrogant with students in my school, but Haruka was different. She was a good girl.

I and Haruka became good friend each other. I was really glad in having friend like her. It was because even though she was from rich family and I was not from rich family. She wanted to have a friend like me. She wanted to share everything to me. So, did I. For the example, when she had something, like knowledge, foods, or even gift, she would give to me. Then, I did the same thing like her, for the example if my mom made a food, traditional food, I would give that food also to Haruka.

One day, I was invited by Haruka’s family to attend Haruka’s birth day. I came to Haruka’s house as shown in invitation card. I was very surprised when I looked the house of Haruka that was very luxurious, and beautiful. I felt afraid to enter Haruka’s house. For that, I only waited on the outside of Haruka’s house. I stood at fence. Then, seven minutes, I stood at fence. I saw Haruka went to out from her house. She came to me and she asked why I did not enter. I did not answer, I only smiled. Then, she said to me that her birthday would not be started without the existence of me. I was very touched in hearing that. I hugged her. Then, I and Haruka entered to Haruka’s house. Many guests looked at me and Haruka. Then, the party started. Before that, Haruka’s parents introduced me to the guests that I was the best friend for her daughter and Haruka’s family wanted me follow them to holiday in Korea next month. Many people gave applause to me and Haruka’s family. I was so touched. I felt to cry.

I was fortunate having friend like Haruka, and knew Haruka’s family.

Kamis, 04 Desember 2014

Cerita Rakyat Putri Tujuh

Putri Tujuh


Konon, pada zaman dahulu kala, di daerah Dumai berdiri sebuah kerajaan bernama Seri Bunga Tanjung. Kerajaan ini diperintah oleh seorang Ratu yang bernama Cik Sima. Ratu ini memiliki tujuh orang putri yang elok nan rupawan, yang dikenal dengan Putri Tujuh. Dari ketujuh putri tersebut, putri bungsulah yang paling cantik, namanya Mayang Sari. Putri Mayang Sari memiliki keindahan tubuh yang sangat mempesona, kulitnya lembut bagai sutra, wajahnya elok berseri bagaikan bulan purnama, bibirnya merah bagai delima, alisnya bagai semut beriring, rambutnya yang panjang dan ikal terurai bagai mayang. Karena itu, sang Putri juga dikenal dengan sebutan Mayang Mengurai.

Pada suatu hari, ketujuh putri itu sedang mandi di lubuk Sarang Umai. Karena asyik berendam dan bersendau gurau, ketujuh putri itu tidak menyadari ada beberapa pasang mata yang sedang mengamati mereka, yang ternyata adalah Pangeran Empang Kuala dan para pengawalnya yang kebetulan lewat di daerah itu. Mereka mengamati ketujuh putri tersebut dari balik semak-semak. Secara diam-diam, sang Pangeran terpesona melihat kecantikan salah satu putri yang tak lain adalah Putri Mayang Sari. Tanpa disadari, Pangeran Empang Kuala bergumam lirih, “Gadis cantik di lubuk Umai....cantik di Umai. Ya, ya.....d‘umai...d‘umai....” Kata-kata itu terus terucap dalam hati Pangeran Empang Kuala. Rupanya, sang Pangeran jatuh cinta kepada sang Putri. Karena itu, sang Pangeran berniat untuk meminangnya.

Beberapa hari kemudian, sang Pangeran mengirim utusan untuk meminang putri itu yang diketahuinya bernama Mayang Mengurai. Utusan tersebut mengantarkan tepak sirih sebagai pinangan adat kebesaran raja kepada Keluarga Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Pinangan itu pun disambut oleh Ratu Cik Sima dengan kemuliaan adat yang berlaku di Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Sebagai balasan pinangan Pangeran Empang Kuala, Ratu Cik Sima pun menjunjung tinggi adat kerajaan yaitu mengisi pinang dan gambir pada combol paling besar di antara tujuh buah combol yang ada di dalam tepak itu. Enam buah combol lainnya sengaja tak diisinya, sehingga tetap kosong. Adat ini melambangkan bahwa putri tertualah yang berhak menerima pinangan terlebih dahulu.

Mengetahui pinangan Pangerannya ditolak, utusan tersebut kembali menghadap kepada sang Pangeran. “Ampun Baginda Raja! Hamba tak ada maksud mengecewakan Tuan. Keluarga Kerajaan Seri Bunga Tanjung belum bersedia menerima pinangan Tuan untuk memperistrikan Putri Mayang Mengurai.” Mendengar laporan itu, sang Raja pun naik pitam karena rasa malu yang amat sangat. Sang Pangeran tak lagi peduli dengan adat yang berlaku di negeri Seri Bunga Tanjung. Amarah yang menguasai hatinya tak bisa dikendalikan lagi. Sang Pangeran pun segera memerintahkan para panglima dan prajuritnya untuk menyerang Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Maka, pertempuran antara kedua kerajaan di pinggiran Selat Malaka itu tak dapat dielakkan lagi.

Di tengah berkecamuknya perang tersebut, Ratu Cik Sima segera melarikan ketujuh putrinya ke dalam hutan dan menyembunyikan mereka di dalam sebuah lubang yang beratapkan tanah dan terlindung oleh pepohonan. Tak lupa pula sang Ratu membekali ketujuh putrinya makanan yang cukup untuk tiga bulan. Setelah itu, sang Ratu kembali ke kerajaan untuk mengadakan perlawanan terhadap pasukan Pangeran Empang Kuala. Sudah 3 bulan berlalu, namun pertempuran antara kedua kerajaan itu tak kunjung usai. Setelah memasuki bulan keempat, pasukan Ratu Cik Sima semakin terdesak dan tak berdaya. Akhirnya, Negeri Seri Bunga Tanjung dihancurkan, rakyatnya banyak yang tewas. Melihat negerinya hancur dan tak berdaya, Ratu Cik Sima segera meminta bantuan jin yang sedang bertapa di bukit Hulu Sungai Umai.

Pada suatu senja, pasukan Pangeran Empang Kuala sedang beristirahat di hilir Umai. Mereka berlindung di bawah pohon-pohon bakau. Namun, menjelang malam terjadi peristiwa yang sangat mengerikan. Secara tiba-tiba mereka tertimpa beribu-ribu buah bakau yang jatuh dan menusuk ke badan para pasukan Pangeran Empang Kuala. Tak sampai separuh malam, pasukan Pangeran Empang Kaula dapat dilumpuhkan. Pada saat pasukan Kerajaan Empang Kuala tak berdaya, datanglah utusan Ratu Cik Sima menghadap Pangeran Empang Kuala.

Melihat kedatangan utusan tersebut, sang Pangeran yang masih terduduk lemas menahan sakit langsung bertanya, “Hai orang Seri Bunga Tanjung, apa maksud kedatanganmu ini?”. Sang Utusan menjawab, “Hamba datang untuk menyampaikan pesan Ratu Cik Sima agar Pangeran berkenan menghentikan peperangan ini. Perbuatan kita ini telah merusakkan bumi sakti rantau bertuah dan menodai pesisir Seri Bunga Tanjung. Siapa yang datang dengan niat buruk, malapetaka akan menimpa, sebaliknya siapa yang datang dengan niat baik ke negeri Seri Bunga Tanjung, akan sejahteralah hidupnya,” kata utusan Ratu Cik Sima menjelaskan. Mendengar penjelasan utusan Ratu Cik Sima, sadarlah Pangeran Empang Kuala, bahwa dirinyalah yang memulai peperangan tersebut. Pangeran langsung memerintahkan pasukannya agar segera pulang ke Negeri Empang Kuala.

Keesokan harinya, Ratu Cik Sima bergegas mendatangi tempat persembunyian ketujuh putrinya di dalam hutan. Alangkah terkejutnya Ratu Cik Sima, karena ketujuh putrinya sudah dalam keadaan tak bernyawa. Mereka mati karena haus dan lapar. Ternyata Ratu Cik Sima lupa, kalau bekal yang disediakan hanya cukup untuk tiga bulan. Sedangkan perang antara Ratu Cik Sima dengan Pangeran Empang Kuala berlangsung sampai empat bulan.

Akhirnya, karena tak kuat menahan kesedihan atas kematian ketujuh putrinya, maka Ratu Cik Sima pun jatuh sakit dan tak lama kemudian meninggal dunia. Sampai kini, pengorbanan Putri Tujuh itu tetap dikenang dalam sebuah lirik:
Umbut mari mayang diumbut
Mari diumbut di rumpun buluh
Jemput mari dayang dijemput
Mari dijemput turun bertujuh
Ketujuhnya berkain serong
Ketujuhnya bersubang gading
Ketujuhnya bersanggul sendeng
Ketujuhnya memakai pending
Sejak peristiwa itu, masyarakat Dumai meyakini bahwa nama kota Dumai diambil dari kata “d‘umai” yang selalu diucapkan Pangeran Empang Kuala ketika melihat kecantikan Putri Mayang Sari atau Mayang Mengurai. Di Dumai juga bisa dijumpai situs bersejarah berupa pesanggarahan Putri Tujuh yang terletak di dalam komplek kilang minyak PT Pertamina Dumai. Selain itu, ada beberapa nama tempat di kota Dumai yang diabadikan untuk mengenang peristiwa itu, di antaranya: kilang minyak milik Pertamina Dumai diberi nama Putri Tujuh; bukit hulu Sungai Umai tempat pertapaan Jin diberi nama Bukit Jin. Kemudian lirik Tujuh Putri sampai sekarang dijadikan nyanyian pengiring Tari Pulai dan Asyik Mayang bagi para tabib saat mengobati orang sakit.

Kisah Karang Bolong

Karang Bolong 


Beberapa abad yang lalu tersebutlah Kesultanan Kartasura. Kesultanan sedang dilanda kesedihan yang mendalam karena permaisuri tercinta sedang sakit keras.

Pangeran sudah berkali-kali memanggil tabib untuk mengobati sang permaisuri, tapi tak satupun yang dapat mengobati penyakitnya. Sehingga hari demi hari, tubuh sang permaisuri menjadi kurus kering seperti tulang terbalutkan kulit.

Kecemasan melanda rakyat kesultanan Kartasura. Roda pemerintahan menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya. "Hamba sarankan agar Tuanku mencari tempat yang sepi untuk memohon kepada Sang Maha Agung agar mendapat petunjuk guna kesembuhan permaisuri," kata penasehat istana.

Tidak berapa lama, Pangeran Kartasura melaksanakan tapanya. Godaan-godaan yang dialaminya dapat dilaluinya. Hingga pada suatu malam terdengar suara gaib.

"Hentikanlah semedimu. Ambillah bunga karang di Pantai Selatan, dengan bunga karang itulah, permaisuri akan sembuh."

Kemudian, Pangeran Kartasura segera pulang ke istana dan menanyakan hal suara gaib tersebut pada penasehatnya.

"Pantai selatan itu sangat luas. Namun hamba yakin tempat yang dimaksud suara gaib itu adalah wilayah Karang Bolong, di sana banyak terdapat gua karang yang di dalamnya tumbuh bunga karang," kata penasehat istana dengan yakin.

Keesokannya, Pangeran Kartasura menugaskan Adipati Surti untuk mengambil bunga karang tersebut. Adipati Surti memilih dua orang pengiring setianya yang bernama Sanglar dan Sanglur. Setelah beberapa hari berjalan, akhirnya mereka tiba di karang bolong. Di dalamnya terdapat sebuah gua. Adipati Surti segera melakukan tapanya di dalam gua tersebut. Setelah beberapa hari, Adipati Surti mendengar suara seseorang.

"Hentikan semedimu. Aku akan mengabulkan permintaanmu, tapi harus kau penuhi dahulu persyaratanku."

Adipati Surti membuka matanya, dan melihat seorang gadis cantik seperti Dewi dari kahyangan di hadapannya. Sang gadis cantik tersebut bernama Suryawati. Ia adalah abdi Nyi Loro Kidul yang menguasai Laut Selatan.

Syarat yang diajukan Suryawati, Adipati harus bersedia menetap di Pantai Selatan bersama Suryawati.

Setelah lama berpikir, Adipati Surti menyanggupi syarat Suryawati. Tak lama setelah itu, Suryawati mengulurkan tangannya, mengajak Adipati Surti untuk menunjukkan tempat bunga karang. Ketika menerima uluran tangan Suryawati, Adipati Surti merasa raga halusnya saja yang terbang mengikuti Suryawati, sedang raga kasarnya tetap pada posisinya bersemedi.

"Itulah bunga karang yang dapat menyembuhkan Permaisuri," kata Suryawati seraya menunjuk pada sarang burung walet.

Jika diolah, akan menjadi ramuan yang luar biasa khasiatnya. Adipati Surti segera mengambil sarang burung walet cukup banyak. Setelah itu, ia kembali ke tempat bersemedi. Raga halusnya kembali masuk ke raga kasarnya.

Setelah mendapatkan bunga karang, Adipati Surti mengajak kedua pengiringnya kembali ke Kartasura. Pangeran Kartasura sangat gembira atas keberhasilan Adipati Surti.

"Cepat buatkan ramuan obatnya," perintah Pangeran Kartasura pada pada abdinya. Ternyata, setelah beberapa hari meminum ramuan sarang burung walet, Permaisuri menjadi sehat dan segar seperti sedia kala. Suasana Kesultanan Kartasura menjadi ceria kembali. Di tengah kegembiraan tersebut, Adipati Surti teringat janjinya pada Suryawati. Ia tidak mau mengingkari janji. Ia pun mohon diri pada Pangeran Kartasura dengan alasan untuk menjaga dan mendiami karang bolong yang di dalamnya banyak sarang burung walet. Kepergian Adipati Surti diiringi isak tangis para abdi istana, karena Adipati Surti adalah seorang yang baik dan rendah hati.

Adipati Surti mengajak kedua pengiringnya untuk pergi bersamanya. Setelah berpikir beberapa saat, Sanglar dan Sanglur memutuskan untuk ikut bersama Adipati Surti.

Setibanya di Karang Bolong, mereka membuat sebuah rumah sederhana. Setelah selesai, Adipati Surti bersemedi. Tidak berapa lama, ia memisahkan raga halus dari raga kasarnya.

"Aku kembali untuk memenuhi janjiku," kata Adipati Surti, setelah melihat Suryawati berada di hadapannya.

Kemudian, Adipati Surti dan Suryawati melangsungkan pernikahan mereka. Mereka hidup bahagia di Karang Bolong. Di sana mereka mendapatkan penghasilan yang tinggi dari hasil sarang burung walet yang semakin hari semakin banyak dicari orang.

Minggu, 30 November 2014

Cerita Fabel Kancil Mencuri Timun

Kancil Mencuri Timun


Pada jaman dahulu Sang Kancil yang baru saja diangkat jadi raja hutan kedatangan serombongan gajah yang bertamu sambil membawa anak mereka yang sakit. Semua tabib di hutan telah menyerah, tak mampu mengobati penyakitnya. Badan Si Ajah (Anak gaJah) demam, kepalanya pusing, perut mual dan tidak mau makan, mirip dengan penyakit meriang biasa tetapi tidak kunjung sembuh.

Setelah Sang Kancil memeriksa dengan seksama, tahulah dia bahwa si Ajah telah terserang typhus. Belum ada obat typhus yang dimiliki apotek hutan raya, sehingga hanya ada harapan kecil bagi Ajah untuk sembuh.

Namun sebenarnya ada peluang untuk sembuh, yaitu mendapatkan antibiotik yang telah ditemukan bangsa manusia bertahun-tahun silam.  Sang Kancil tahu ada beberapa keluarga petani yang menetap di pinggir hutan. Mungkin mereka memiliki persediaan antibiotik itu.

Tapi siapakah yang berani meminta antibiotik pada mereka?

Seperti yang diduga Sang Kancil, tak satupun gajah yang berani pergi ke rumah petani untuk meminta antibiotik. Termasuk Sang Gajah Ketua. Si Gajah raksasa paling besar diantara rombongan gajah itu gentar mendengar kata “manusia”. 

Dalam bayangannya, bila dia muncul di depan Pak Tani yang gagah perkasa itu, dia masih beruntung bila hanya ditangkap dan dijadikan kuli pengangkut barang. Kalo lagi sial, hidupnya bakalan berakhir di moncong senapan berburu yang sangat dahsyat itu. Andai di sini ada si biri-biri pemberani, pasti dia mau datang pada petani. Tapi biri-biri tinggal di kota, bukan di hutan ini.

Tidak pilihan lain bagi Sang Kancil selaku cendekiawan sekaligus pemimpin binatang-binatang di hutan raya selain datang sendiri ke rumah petani untuk meminta antibiotik. Maka pada pagi hari yang cerah, dengan diiringi lambaian tangan rakyatnya, Sang Kancil melangkahkan kakinya meninggalkan hutan raya menuju tanah pertanian di pinggir hutan dengan hanya membawa sedikit bekal makanan. Maklum dia sedang diet karena beberapa bulan ini tubuhnya terasa makin tambun saja.

Dengan bantuan peta yang dipinjam dari perpustakaan hutan raya, Sang Raja Hutan tahu jalan paling pendek menuju tanah pertanian. Hanya butuh waktu satu minggu sebelum Sang Kancil menginjakkan kakinya di tepi hutan, padahal bila tanpa bantuan peta bisa mencapai 1 bulan untuk sampai di pemukiman manusia. Wajarlah karena Sang Kancil adalah seorang raja yang suka melakukan inovasi agar segala sesuatunya semakin baik.   Samar-samar dilihatnya kebun tanaman luas membentang di hadapannya.

Setelah melewati kebun kiwi, kebun alamanda, kebun bunga matahari, kebun rapunzel dan kebun lidah buaya, sampailah Sang Kancil di kebun timun yang berbuah lebat. Dipandanginya ratusan timun yang menjuntai dari batang-batang tanaman.

Timun-timun yang panjang dan gemuk, dengan warna hijau segar yang menerbitkan selera. Dilihatnya ada sesosok tubuh yang berdiri membelakangi dirinya. Disangkanya dia adalah Pak Tani.

Sang Kancil menyapa sesosok tubuh itu. Tapi dia diam saja. Sang Kancil mencoba menyapa dengan suara lebih keras, kemudian lebih keras lagi lalu sampai setengah berteriak. Tapi sosok itu masih diam saja. Sang Kancil mendekat dan mencoba menyentuh bahu sosok itu. Tapi celaka. Tangannya menempel pada sosok itu.

Saat tangan yang satunya mencoba membantu melepaskan, justru ikut menempel di sosok itu. Tahulah Sang Kancil bahwa dirinya telah terjebak pada orang-orangan sawah yang telah dilumuri getah nangka yang sangat lengket.

Dia pernah membaca tentang bahaya jebakan orang-orangan sawah itu di salah satu buku di perpustakaan hutan raya. Menurut buku itu seharusnya dirinya tak boleh dekat-dekat sosok mirip manusia itu, karena bisa terperangkap. Tapi terlambat, Kancil baru menyadari setelah terjebak.

Sore hari saat menengok kebunnya, Pak Tani yang penasaran karena beberapa minggu terakhir ini timunnya selalu dicuri merasa girang gembirang. Seekor binatang asing telah terjebak pada orang-orangan berlumur getah yang dipasangnya.

“Pastilah dia adalah pencuri sialan itu” pikirnya. Sia-sia sajalah Sang Kancil mencoba membantah kata-kata Pak Tani. “Tak ada ampun bagi pencuri” tandas Pak Tani sambil menyeret Sang Kancil ke rumahnya.

Anjing Gembala milik Pak Tani menyambangi Sang Kancil yang meringkuk di kandang ayam di halaman belakang rumah Pak Tani. “Sungguh malang kau pengelana pencuri!” katanya. Tiba-tiba Sang Kancil teringat buku tentang anjing yang ditulis kakeknya.

Di buku Monograf tentang Anjing tersebut diterangkan bahwa anjing memiliki kemampuan melacak berdasar bau-bauan. Sebuah keahlian yang berguna untuk melacak pencuri. Bisa bermanfaat untuk membuktikan bahwa Kancil tidak bersalah.

Sang Kancil menceritakan bahwa dirinya tidak mencuri. Dimintanya Anjing Gembala memeriksa apakah timun tidak dicuri lagi setelah dirinya ditangkap. Bila timun masih dicuri, berarti bukan dirinya yang mencuri.

Untunglah Anjing Gembala bersedia memenuhi permintaan Sang Kancil setelah dipuji-puji bahwa Si Anjing Gembala adalah binatang paling ahli untuk menjadi detektif yang melacak jejak pencuri. Sang Anjing yang dari sononya memang memiliki kemampuan melacak itu merasa tersanjung atas pujian Sang Kancil dan bertekad untuk membuktikan kemampuannya.

Maka dengan senang hati Anjing Gembala menghitung timun pada sore hari dan menghitung ulang pada pagi harinya. Dan benarlah kata Sang Kancil, bahwa ada pencuri yang lain yang telah mengambil timun di malam hari.

Saat diberitahu hal itu oleh Anjing Gembala, Pak Tani menjadi marah. Bagaimana mungkin Sang Kancil yang telah dikurungnya masih mampu mencuri timun?. Setelah berdebat seru dengan Sang Kancil dan Anjing Gembala tentang siapakah yang telah mencuri timun, akhirnya Pak Tani mau mengikuti taktik melacak pencuri yang diajarkan Sang Kancil. Tentu saja si Anjing Gembala girang bukan kepalang,dia punya kesempatan emas untuk membuktikan kehandalan dirinya dalam melacak pencuri.

Sang Kancil mengajari Anjing Gembala teknik melacak pencuri sesuai yang dia baca di Buku Detektif Hutan yang menjelaskan cara-cara menemukan pencuri dengan cepat.

Buku yang ditulis oleh seekor anjing hutan senior yang piawai melacak segala macam pencuri itu telah dibaca berkali-kali oleh Sang Kancil sejak masih kecil. Sang Kancil juga telah berkali-kali mempraktekkan teknik dari buku itu untuk memecahkan kasus-kasus barang hilang di hutan raya.

Pertama, Sang Kancil meminta daftar semua binatang peliharaan yang dimiliki petani. Ternyata ada banyak sekali binatang peliharaan di tanah pertanian itu. Ada lima puluh ekor ayam yang dibiarkan bebas berkeliaran. Ada enam puluh delapan ekor itik yang digembala oleh seorang pembantu.Terdapat dua belas ekor sapi perah untuk diambil susunya dan tujuh ekor kerbau yang dipergunakan untuk bekerja.

Ada juga enam ekor kuda untuk menarik kereta. Kemudian ada sepuluh ekor kelinci yang dikurung di kebun belakang dengan dikelilingi pagar tembok. Kelinci itu dibeli Pak Tani dua tahun lalu.

Langkah kedua dimintanya Anjing Gembala melacak bau-bauan dari bulu-bulu atau rambut yang tercecer di kebun timun, dan dicocokkan dengan bau-bauan di kandang masing-masing hewan tadi. Sampai akhirnya ketemulah bau kandang yang paling mendekati bau yang ada di kebun timun.

Langkah ketiga adalah Sang Kancil meminta Anjing Gembala berjaga di luar kandang binatang yang menjadi tersangka utama. Sampai akhirnya si Anjing Gembala membuntuti sekelompok binatang yang muncul dari lubang-lubang bawah tanah yang dibuat di luar kadangnya dan berhasil menangkap basah saat mereka sedang melahap timun.

Pak Tani sangat senang dan berterimakasih pada Sang Kancil dan Anjing Gembala atas keberhasilan menangkap pencuri. Dikurungnya binatang-binatang pencuri timun yang akan segera diberi pelajaran olehnya. Namun Sang Kancil mencegah petani memberi hukuman pada binatang tersebut.

Diceritakannya bahwa wajar binatang yang memiliki kemampuan untuk membuat lubang dalam tanah tersebut -- untuk keluar mencari makan. Itu karena Pak Tani memberi jatah makanan yang kurang.

Rupanya binatang itu adalah para kelinci -- yang disangka oleh Pak Tani masih berjumlah 10 ekor. Padahal jumlah kelinci telah bertambah sejak pertamakali dibeli Pak Tani. Sekarang jumlahnya telah lebih dari dua puluh ekor. Mereka cepat beranak pinak sehingga jumlah makanan yang dijatah pak Tani tak lagi mencukupi. Akibatnya beberapa ekor kelinci badung nekad keluar kandang untuk mencari tambahan makanan.

Sadarlah Pak Tani bahwa sejak dua tahun lalu dia hanya memberi jatah satu keranjang sayur dan buah-buahan yang cukup untuk 10 ekor kelinci. Sementara jumlah kelinci telah jauh bertambah. Jadi mereka kelaparan dan kemudian ada beberapa ekor yang tidak tahan lapar keluar dari pagar untuk mencari makanan.

Menyesalah dirinya atas kelalaian itu. Kemudian dibebaskanlah kelinci-kelinci yang dikurungnya. Mengikuti jejak Sang Kancil yan juga telah dilepaskannya dari kurungan.

Kini tibalah saatnya Sang Kancil mengungkapkan tujuan dirinya bertandang ke tempat Pak Tani. Diceritakannya bahwa dirinya membutuhkan antibiotik typhus untuk diberikan pada anak gajah yang sakit.

Untunglah Pak Tani menyanggupi memberikan antibiotik itu. Dia punya kenalan seorang dokter muda yang kebetulan sedang menginap dirumahnya setelah bertugas mengobati penduduk di kampung-kampung terpencil yang tengah terjangkit wabah typhus. Dia membawa persediaan antibiotik yang cukup untuk mengobati anak gajah hingga sembuh.

Maka pada pagi hari yang cerah, Sang Kancil melangkahkan kaki kembali ke hutan sambil menenteng anibiotik buat anak gajah. Tak disangka keterjebakan dirinya pada orang-orangan sawah telah membantunya mendapatkan antibiotik dari petani.

Sementara Pak Tani juga merasa beruntung dapat menolong anak gajah. Dia juga senang karena timun-timunnya tak lagi dicuri setelah dia menambah jatah makanan buat kelinci-kelincinya. Anjing Gembala juga girang bahwa kemampuan melacaknya telah berhasil memecahkan problem pencurian timun milik Pak Tani.

Cerita Fabel Kancil Dan Siput Lomba Lari

Kancil Dan Siput Lomba Lari

Suatu hari kancil bertemu dengan siput dipinggir kali. Melihat siput merangkak dengan lambatnya, sang kancil dengan sombong dan angkuhnya berkata.
Kancil : “Hai siput, beranikah kamu lomba lari denganku ?”
( ajakan terasa sangat mengejek siput, berpikir sebentar, lalu menjawab )
Siput : “Baiklah, aku terima ajakanmu dan jangan malu kalau nanti kamu sendiri yang kalah.”
Kancil : “Tidak bisa, masa jago lari sedunia mau dikalahkan olehmu, siput, binatang perangkak kelas wahid di dunia.” ejek kancil.
Kancil : “Baiklah, ayo cepat kita tentukan larinya !” jawab kancil.
Siput : “Bagaimana kalau hari minggu besok, agar banyak yang menonton.” Kata siput.
Kancil : “Oke, aku setuju.” Jawab kancil.
Sambil menunggu hari yang telah ditentukan itu, siput mengatur taktik. Segera dia kumpulkan bangsa siput sebanyak-banyaknya. Dalam pertemuan itu, siput membakar semangat kawan-kawannya dan dengan geram mereka ingin mempermalukan kancil dihadapan umum. Dalam musyawarah itu, disepakatilah dengan suara bulat bahwa dalam lomba nanti setiap siput ditugaskan berdiri diantara rerumputan di pinggir kali. Diaturlah tempat mereka masing-masing. Bila kancil memanggil maka siput yang didepannya itu yang menjawab begitu seterusnya.
Sampailah saat yang ditunggu itu. Penonton pun sangat penuh. Para penonton datang dari semua penjuru hutan.
Kancil dan siput telah bersiap digaris start. Pemimpin lomba mengangkat bendera, tanda lomba di mulai. Kancil berlari sangat cepatnya. Semua tenaga dikeluarkannya. Tepuk tangan penonton kian menggema, memberi semangat kepada kancil. Setelah lari sekian kilometer, berhentilah kancil. Sambil napas terengah-engah dia memanggil.
Kancil : “Siput !” seru kancil.
Siput : “Ya, aku disini.”
Karena siput telah berada didepannya, kancilpun kembali lari sangat cepat sampai tidak ada lagi tenaga yang tersisa. Kemudia dia pun memanggil.
Kancil : “Siput !” teriak kancil lagi.
Siput : “Ya, aku disini.”
Berkali-kali selalu begitu. Sampai pada akhirnya kancil lunglai dan tak dapat berlari lagi. Menyerahlah sang kancil dan mengakui kekalahannya. Penonton terbengong-bengong.
Siput menyambut kemenangan itu dengan senyuman saja. Tidak ada loncatan kegirangan seperti pada umumnya pemenang lomba.

Rabu, 12 November 2014

Asal Mula Pesut Mahakam

Pesut Mahakam


Pada jaman dahulu kala di rantau Mahakam, terdapat sebuah dusun yang didiami oleh beberapa keluarga. Mata pencaharian mereka kebanyakan adalah sebagai petani maupun nelayan. Setiap tahun setelah musim panen, penduduk dusun tersebut biasanya mengadakan pesta adat yang diisi dengan beraneka macam pertunjukan ketangkasan dan kesenian.

Ditengah masyarakat yang tinggal di dusun tersebut, terdapat suatu keluarga yang hidup rukun dan damai dalam sebuah pondok yang sederhana. Mereka terdiri dari sepasang suami-istri dan dua orang putra dan putri. Kebutuhan hidup mereka tidak terlalu sukar untuk dipenuhi karena mereka memiliki kebun yang ditanami berbagai jenis buah-buahan dan sayur-sayuran. Begitu pula segala macam kesulitan dapat diatasi dengan cara yang bijaksana, sehingga mereka hidup dengan bahagia selama bertahun-tahun.

Pada suatu ketika, sang ibu terserang oleh suatu penyakit. Walau telah diobati oleh beberapa orang tabib, namun sakit sang ibu tak kunjung sembuh pula hingga akhirnya ia meninggal dunia. Sepeninggal sang ibu, kehidupan keluarga ini mulai tak terurus lagi. Mereka larut dalam kesedihan yang mendalam karena kehilangan orang yang sangat mereka cintai. Sang ayah menjadi pendiam dan pemurung, sementara kedua anaknya selalu diliputi rasa bingung, tak tahu apa yang mesti dilakukan. Keadaan rumah dan kebun mereka kini sudah tak terawat lagi. Beberapa sesepuh desa telah mencoba menasehati sang ayah agar tidak larut dalam kesedihan, namun nasehat-nasehat mereka tak dapat memberikan perubahan padanya. Keadaan ini berlangsung cukup lama.

Suatu hari di dusun tersebut kembali diadakan pesta adat panen. Berbagai pertunjukan dan hiburan kembali digelar. Dalam suatu pertunjukan ketangkasan, terdapatlah seorang gadis yang cantik dan mempesona sehingga selalu mendapat sambutan pemuda-pemuda dusun tersebut bila ia beraksi. Mendengar berita yang demikian itu, tergugah juga hati sang ayah untuk turut menyaksikan bagaimana kehebatan pertunjukan yang begitu dipuji-puji penduduk dusun hingga banyak pemuda yang tergila-gila dibuatnya.

Malam itu adalah malam ketujuh dari acara keramaian yang dilangsungkan. Perlahan-lahan sang ayah berjalan mendekati tempat pertunjukan dimana gadis itu akan bermain. Sengaja ia berdiri di depan agar dapat dengan jelas menyaksikan permainan serta wajah sang gadis. Akhirnya pertunjukan pun dimulai. Berbeda dengan penonton lainnya, sang ayah tidak banyak tertawa geli atau memuji-muji penampilan sang gadis. Walau demikian sekali-sekali ada juga sang ayah tersenyum kecil. Sang gadis melemparkan senyum manisnya kepada para penonton yang memujinya maupun yang menggodanya. Suatu saat, akhirnya bertemu jua pandangan antara si gadis dan sang ayah tadi. Kejadian ini berulang beberapa kali, dan tidak lah diperkirakan sama sekali kiranya bahwa terjalin rasa cinta antara sang gadis dengan sang ayah dari dua orang anak tersebut.

Demikianlah keadaannya, atas persetujuan kedua belah pihak dan restu dari para sesepuh maka dilangsungkanlah pernikahan antara mereka setelah pesta adat di dusun tersebut usai. Dan berakhir pula lah kemuraman keluarga tersebut, kini mulailah mereka menyusun hidup baru. Mereka mulai mengerjakan kegiatan-kegiatan yang dahulunya tidak mereka usahakan lagi. Sang ayah kembali rajin berladang dengan dibantu kedua anaknya, sementara sang ibu tiri tinggal di rumah menyiapkan makanan bagi mereka sekeluarga. Begitulah seterusnya sampai berbulan-bulan lamanya hingga kehidupan mereka cerah kembali.

Dalam keadaan yang demikian, tidak lah diduga sama sekali ternyata sang ibu baru tersebut lama kelamaan memiliki sifat yang kurang baik terhadap kedua anak tirinya. Kedua anak itu baru diberi makan setelah ada sisa makanan dari ayahnya. Sang ayah hanya dapat memaklumi perbuatan istrinya itu, tak dapat berbuat apa-apa karena dia sangat mencintainya. Akhirnya, seluruh rumah tangga diatur dan berada ditangan sang istri muda yang serakah tersebut. Kedua orang anak tirinya disuruh bekerja keras setiap hari tanpa mengenal lelah dan bahkan disuruh mengerjakan hal-hal yang diluar kemampuan mereka.

Pada suatu ketika, sang ibu tiri telah membuat suatu rencana jahat. Ia menyuruh kedua anak tirinya untuk mencari kayu bakar di hutan.
"Kalian berdua hari ini harus mencari kayu bakar lagi!" perintah sang ibu, "Jumlahnya harus tiga kali lebih banyak dari yang kalian peroleh kemarin. Dan ingat! Jangan pulang sebelum kayunya banyak dikumpulkan. Mengerti?!"
"Tapi, Bu..." jawab anak lelakinya, "Untuk apa kayu sebanyak itu...? Kayu yang ada saja masih cukup banyak. Nanti kalau sudah hampir habis, barulah kami mencarinya lagi..."
"Apa?! Kalian sudah berani membantah ya?! Nanti kulaporkan ke ayahmu bahwa kalian pemalas! Ayo, berangkat sekarang juga!!" kata si ibu tiri dengan marahnya.

Anak tirinya yang perempuan kemudian menarik tangan kakaknya untuk segera pergi. Ia tahu bahwa ayahnya telah dipengaruhi sang ibu tiri, jadi sia-sia saja untuk membantah karena tetap akan dipersalahkan jua. Setelah membawa beberapa perlengkapan, berangkatlah mereka menuju hutan. Hingga senja menjelang, kayu yang dikumpulkan belum mencukupi seperti yang diminta ibu tiri mereka. Terpaksa lah mereka harus bermalam di hutan dalam sebuah bekas pondok seseorang agar dapat meneruskan pekerjaan mereka esok harinya. Hampir tengah malam barulah mereka dapat terlelap walau rasa lapar masih membelit perut mereka.

Esok paginya, mereka pun mulai mengumpulkan kayu sebanyak-banyaknya. Menjelang tengah hari, rasa lapar pun tak tertahankan lagi, akhirnya mereka tergeletak di tanah selama beberapa saat. Dan tanpa mereka ketahui, seorang kakek tua datang menghampiri mereka.
"Apa yang kalian lakukan disini, anak-anak?!" tanya kakek itu kepada mereka.
Kedua anak yang malang tersebut lalu menceritakan semuanya, termasuk tingkah ibu tiri mereka dan keadaan mereka yang belum makan nasi sejak kemarin hingga rasanya tak sanggup lagi untuk meneruskan pekerjaan.
"Kalau begitu..., pergilah kalian ke arah sana." kata si kakek sambil menunjuk ke arah rimbunan belukar, "Disitu banyak terdapat pohon buah-buahan. Makanlah sepuas-puasnya sampai kenyang. Tapi ingat, janganlah dicari lagi esok harinya karena akan sia-sia saja. Pergilah sekarang juga!"

Sambil mengucapkan terima kasih, kedua kakak beradik tersebut bergegas menuju ke tempat yang dimaksud. Ternyata benar apa yang diucapkan kakek tadi, disana banyak terdapat beraneka macam pohon buah-buahan. Buah durian, nangka, cempedak, wanyi, mangga dan pepaya yang telah masak tampak berserakan di tanah. Buah-buahan lain seperti pisang, rambutan dan kelapa gading nampak bergantungan di pohonnya. Mereka kemudian memakan buah-buahan tersebut hingga kenyang dan badan terasa segar kembali. Setelah beristirahat beberapa saat, mereka dapat kembali melanjutkan pekerjaan mengumpulkan kayu hingga sesuai dengan yang diminta sang ibu tiri.

Menjelang sore, sedikit demi sedikit kayu yang jumlahnya banyak itu berhasil diangsur semuanya ke rumah. Mereka kemudian menyusun kayu-kayu tersebut tanpa memperhatikan keadaan rumah. Setelah tuntas, barulah mereka naik ke rumah untuk melapor kepada sang ibu tiri, namun alangkah terkejutnya mereka ketika melihat isi rumah yang telah kosong melompong.

Ternyata ayah dan ibu tiri mereka telah pergi meninggalkan rumah itu. Seluruh harta benda didalam rumah tersebut telah habis dibawa serta, ini berarti mereka pergi dan tak akan kembali lagi ke rumah itu. Kedua kakak beradik yang malang itu kemudian menangis sejadi-jadinya. Mendengar tangisan keduanya, berdatanganlah tetangga sekitarnya untuk mengetahui apa gerangan yang terjadi. Mereka terkejut setelah mengetahui bahwa kedua ayah dan ibu tiri anak-anak tersebut telah pindah secara diam-diam.

Esok harinya, kedua anak tersebut bersikeras untuk mencari orangtuanya. Mereka memberitahukan rencana tersebut kepada tetangga terdekat. Beberapa tetangga yang iba kemudian menukar kayu bakar dengan bekal bahan makanan bagi perjalanan kedua anak itu. Menjelang tengah hari, berangkatlah keduanya mencari ayah dan ibu tiri mereka.

Telah dua hari mereka berjalan namun orangtua mereka belum juga dijumpai, sementara perbekalan makanan sudah habis. Pada hari yang ketiga, sampailah mereka di suatu daerah yang berbukit dan tampaklah oleh mereka asap api mengepul di kejauhan. Mereka segera menuju ke arah tempat itu sekedar bertanya kepada penghuninya barangkali mengetahui atau melihat kedua orangtua mereka.

Mereka akhirnya menjumpai sebuah pondok yang sudah reot. Tampak seorang kakek tua sedang duduk-duduk didepan pondok tersebut. Kedua kakak beradik itu lalu memberi hormat kepada sang kakek tua dan memberi salam.
"Dari mana kalian ini? Apa maksud kalian hingga datang ke tempat saya yang jauh terpencil ini?" tanya sang kakek sambil sesekali terbatuk-batuk kecil.
"Maaf, Tok." kata si anak lelaki, "Kami ini sedang mencari kedua urangtua kami. Apakah Datok pernah melihat seorang laki-laki dan seorang perempuan yang masih muda lewat disini?"
Sang kakek terdiam sebentar sambil mengernyitkan keningnya, tampaknya ia sedang berusaha keras untuk mengingat-ingat sesuatu.
"Hmmm..., beberapa hari yang lalu memang ada sepasang suami-istri yang datang kesini." kata si kakek kemudian, "Mereka banyak sekali membawa barang. Apakah mereka itu yang kalian cari?"
"Tak salah lagi, Tok." kata anak lelaki itu dengan gembira, "Mereka pasti urangtua kami! Ke arah mana mereka pergi, Tok?"
"Waktu itu mereka meminjam perahuku untuk menyeberangi sungai. Mereka bilang, mereka ingin menetap diseberang sana dan hendak membuat sebuah pondok dan perkebunan baru. Cobalah kalian cari di seberang sana."
"Terima kasih, Tok..." kata si anak sulung tersebut, "Tapi..., bisakah Datok mengantarkan kami ke seberang sungai?"
"Datok ni dah tua... mana kuat lagi untuk mendayung perahu!" kata si kakek sambil terkekeh, "Kalau kalian ingin menyusul mereka, pakai sajalah perahuku yang ada ditepi sungai itu."

Kakak beradik itu pun memberanikan diri untuk membawa perahu si kakek. Mereka berjanji akan mengembalikan perahu tersebut jika telah berhasil menemukan kedua orangtua mereka. Setelah mengucapkan terima kasih, mereka lalu menaiki perahu dan mendayungnya menuju ke seberang. Keduanya lupa akan rasa lapar yang membelit perut mereka karena rasa gembira setelah mengetahui keberadaan orangtua mereka. Akhirnya mereka sampai di seberang dan menambatkan perahu tersebut dalam sebuah anak sungai. Setelah dua hari lamanya berjalan dengan perut kosong, barulah mereka menemui ujung sebuah dusun yang jarang sekali penduduknya.

Tampaklah oleh mereka sebuah pondok yang kelihatannya baru dibangun. Perlahan-lahan mereka mendekati pondok itu. Dengan perasaan cemas dan ragu si kakak menaiki tangga dan memanggil-manggil penghuninya, sementara si adik berjalan mengitari pondok hingga ia menemukan jemuran pakaian yang ada di belakang pondok. Ia pun teringat pada baju ayahnya yang pernah dijahitnya karena sobek terkait duri, setelah didekatinya maka yakinlah ia bahwa itu memang baju ayahnya. Segera ia berlari menghampiri kakaknya sambil menunjukkan baju sang ayah yang ditemukannya di belakang. Tanpa pikir panjang lagi mereka pun memasuki pondok dan ternyata pondok tersebut memang berisi barang-barang milik ayah mereka.

Rupanya orangtua mereka terburu-buru pergi, sehingga di dapur masih ada periuk yang diletakkan diatas api yang masih menyala. Didalam periuk tersebut ada nasi yang telah menjadi bubur. Karena lapar, si kakak akhirnya melahap nasi bubur yang masih panas tersebut sepuas-puasnya. Adiknya yang baru menyusul ke dapur menjadi terkejut melihat apa yang sedang dikerjakan kakaknya, segera ia menyambar periuk yang isinya tinggal sedikit itu. Karena takut tidak kebagian, ia langsung melahap nasi bubur tersebut sekaligus dengan periuknya.

Karena bubur yang dimakan tersebut masih panas maka suhu badan mereka pun menjadi naik tak terhingga. Dalam keadaan tak karuan demikian, keduanya berlari kesana kemari hendak mencari sungai. Setiap pohon pisang yang mereka temui di kiri-kanan jalan menuju sungai, secara bergantian mereka peluk sehingga pohon pisang tersebut menjadi layu. Begitu mereka tiba di tepi sungai, segeralah mereka terjun ke dalamnya. Hampir bersamaan dengan itu, penghuni pondok yang memang benar adalah orangtua kedua anak yang malang itu terheran-heran ketika melihat banyak pohon pisang di sekitar pondok mereka menjadi layu dan hangus.

Namun mereka sangat terkejut ketika masuk kedalam pondok dan mejumpai sebuah bungkusan dan dua buah mandau kepunyaan kedua anaknya. Sang istri terus memeriksa isi pondok hingga ke dapur, dan dia tak menemukan lagi periuk yang tadi ditinggalkannya. Ia kemudian melaporkan hal itu kepada suaminya. Mereka kemudian bergegas turun dari pondok dan mengikuti jalan menuju sungai yang di kiri-kanannya banyak terdapat pohon pisang yang telah layu dan hangus.

Sesampainya di tepi sungai, terlihatlah oleh mereka dua makhluk yang bergerak kesana kemari didalam air sambil menyemburkan air dari kepalanya. Pikiran sang suami teringat pada rentetan kejadian yang mungkin sekali ada hubungannya dengan keluarga. Ia terperanjat karena tiba-tiba istrinya sudah tidak ada disampingnya. Rupanya ia menghilang secara gaib. Kini sadarlah sang suami bahwa istrinya bukanlah keturunan manusia biasa. Semenjak perkawinan mereka, sang istri memang tidak pernah mau menceritakan asal usulnya.

Tak lama berselang, penduduk desa datang berbondong-bondong ke tepi sungai untuk menyaksikan keanehan yang baru saja terjadi. Dua ekor ikan yang kepalanya mirip dengan kepala manusia sedang bergerak kesana kemari ditengah sungai sambil sekali-sekali muncul di permukaan dan menyemburkan air dari kepalanya. Masyarakat yang berada di tempat itu memperkirakan bahwa air semburan kedua makhluk tersebut panas sehingga dapat menyebabkan ikan-ikan kecil mati jika terkena semburannya.

Oleh masyarakat Kutai, ikan yang menyembur-nyemburkan air itu dinamakan ikan Pasut atau Pesut. Sementara masyarakat di pedalaman Mahakam menamakannya ikan Bawoi.

Cerita Rakyat Bunga Kemuning

Bunga Kemuning


Dahulu kala, ada seorang raja yang memiliki sepuluh orang puteri yang cantik-cantik. Sang raja dikenal sebagai raja yang bijaksana. Tetapi ia terlalu sibuk dengan kepemimpinannya, karena itu ia tidak mampu untuk mendidik anak-anaknya.

Istri sang raja sudah meninggal dunia ketika melahirkan anaknya yang bungsu, sehingga anak sang raja diasuh oleh inang pengasuh. Puteri-puteri Raja menjadi manja dan nakal. Mereka hanya suka bermain di danau. Mereka tak mau belajar dan juga tak mau membantu ayah mereka. Pertengkaran sering terjadi diantara mereka.

Kesepuluh puteri itu dinamai dengan nama-nama warna. Puteri Sulung bernama Puteri Jambon. Adik-adiknya dinamai Puteri Jingga, Puteri Nila, Puteri Hijau, Puteri Kelabu, Puteri Oranye, Puteri Merah Merona dan Puteri Kuning,

Baju yang mereka pakaipun berwarna sama dengan nama mereka. Dengan begitu, sang raja yang sudah tua dapat mengenali mereka dari jauh. Meskipun kecantikan mereka hampir sama, si bungsu Puteri Kuning sedikit berbeda, Ia tak terlihat manja dan nakal. Sebaliknya ia selalu riang dan dan tersenyum ramah kepada siapapun. Ia lebih suka bebergian dengan inang pengasuh daripada dengan kakak-kakaknya.

Pada suatu hari, raja hendak pergi jauh. Ia mengumpulkan semua puteri-puterinya. "Aku hendak pergi jauh dan lama. Oleh-oleh apakah yang kalian inginkan?" tanya raja.

"Aku ingin perhiasan yang mahal," kata Puteri Jambon.

"Aku mau kain sutra yang berkilau-kilau," kata Puteri Jingga. 9 anak raja meminta hadiah yang mahal-mahal pada ayahanda mereka. Tetapi lain halnya dengan Puteri Kuning. Ia berpikir sejenak, lalu memegang lengan ayahnya.

"Ayah, aku hanya ingin ayah kembali dengan selamat," katanya. Kakak-kakaknya tertawa dan mencemoohkannya.

"Anakku, sungguh baik perkataanmu. Tentu saja aku akan kembali dengan selamat dan kubawakan hadiah indah buatmu," kata sang raja. Tak lama kemudian, raja pun pergi.

Selama sang raja pergi, para puteri semakin nakal dan malas. Mereka sering membentak inang pengasuh dan menyuruh pelayan agar menuruti mereka. Karena sibuk menuruti permintaan para puteri yang rewel itu, pelayan tak sempat membersihkan taman istana. Puteri Kuning sangat sedih melihatnya karena taman adalah tempat kesayangan ayahnya. Tanpa ragu, Puteri Kuning mengambil sapu dan mulai membersihkan taman itu. Daun-daun kering dirontokkannya, rumput liar dicabutnya, dan dahan-dahan pohon dipangkasnya hingga rapi. Semula inang pengasuh melarangnya, namun Puteri Kuning tetap berkeras mengerjakannya.

Kakak-kakak Puteri Kuning yang melihat adiknya menyapu, tertawa keras-keras. "Lihat tampaknya kita punya pelayan baru,"kata seorang diantaranya. "Hai pelayan! Masih ada kotoran nih!" ujar seorang yang lain sambil melemparkan sampah. Taman istana yang sudah rapi, kembali acak-acakan. Puteri Kuning diam saja dan menyapu sampah-sampah itu.


Kejadian tersebut terjadi berulang-ulang sampai Puteri Kuning kelelahan. Dalam hati ia bisa merasakan penderitaan para pelayan yang dipaksa mematuhi berbagai perintah kakak-kakaknya.

"Kalian ini sungguh keterlaluan. Mestinya ayah tak perlu membawakan apa-apa untuk kalian. Bisanya hanya mengganggu saja!" Kata Puteri Kuning dengan marah.

"Sudah ah, aku bosan. Kita mandi di danau saja!" ajak Puteri Nila. Mereka meninggalkan Puteri Kuning seorang diri. Begitulah yang terjadi setiap hari, sampai ayah mereka pulang.

Ketika sang raja tiba di istana, kesembilan puteri nya masih bermain di danau, sementara Puteri Kuning sedang merangkai bunga di teras istana. Mengetahui hal itu, raja menjadi sangat sedih. "Anakku yang rajin dan baik budi! Ayahmu tak mampu memberi apa-apa selain kalung batu hijau ini, bukannya warna kuning kesayanganmu!" kata sang raja.

Raja memang sudah mencari-cari kalung batu kuning di berbagai negeri, namun benda itu tak pernah ditemukannya. "Sudahlah Ayah, tak mengapa. Batu hijau pun cantik! Lihat, serasi benar dengan bajuku yang berwarna kuning," kata Puteri Kuning dengan lemah lembut. "Yang penting, ayah sudah kembali. Akan kubuatkan teh hangat untuk ayah," ucapnya lagi.

Ketika Puteri Kuning sedang membuat teh, kakak-kakaknya berdatangan. Mereka ribut mencari hadiah dan saling memamerkannya. Tak ada yang ingat pada Puteri Kuning, apalagi menanyakan hadiahnya.

Keesokan hari, Puteri Hijau melihat Puteri Kuning memakai kalung barunya. "Wahai adikku, bagus benar kalungmu! Seharusnya kalung itu menjadi milikku, karena aku adalah Puteri Hijau!" katanya dengan perasaan iri.

Ayah memberikannya padaku, bukan kepadamu," sahut Puteri Kuning.

Mendengarnya, Puteri Hijau menjadi marah. Ia segera mencari saudara-saudaranya dan menghasut mereka. "Kalung itu milikku, namun ia mengambilnya dari saku ayah. Kita harus mengajarnya berbuat baik!" kata Puteri Hijau. Mereka lalu sepakat untuk merampas kalung itu. Tak lama kemudian, Puteri Kuning muncul. Kakak-kakaknya menangkapnya dan memukul kepalanya.

Tak disangka, pukulan tersebut menyebabkan Puteri Kuning meninggal.

"Astaga! Kita harus menguburnya!" seru Puteri Jingga. Mereka beramai-ramai mengusung Puteri Kuning, lalu menguburnya di taman istana. Puteri Hijau ikut mengubur kalung batu hijau, karena ia tak menginginkannya lagi.

Sewaktu raja mencari Puteri Kuning, tak ada yang tahu kemana puteri itu pergi. Kakak-kakaknya pun diam seribu bahasa. Raja sangat marah. "Hai para pengawal! Cari dan temukanlah Puteri Kuning!" teriaknya.

Tentu saja tak ada yang bisa menemukannya. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, tak ada yang berhasil mencarinya. Raja sangat sedih.

"Aku ini ayah yang buruk," katanya." Biarlah anak-anakku kukirim ke tempat jauh untuk belajar dan mengasah budi pekerti!" Maka ia pun mengirimkan puteri-puterinya untuk bersekolah di negeri yang jauh. Raja sendiri sering termenung-menung di taman istana, sedih memikirkan Puteri Kuning yang hilang tak berbekas.

Suatu hari, tumbuhlah sebuah tanaman di atas kubur Puteri Kuning. Sang raja heran melihatnya. "Tanaman apakah ini? Batangnya bagaikan jubah puteri, daunnya bulat berkilau bagai kalung batu hijau, bunganya putih kekuningan dan sangat wangi! Tanaman ini mengingatkanku pada Puteri Kuning. Baiklah, kuberi nama ia Kemuning.!" kata raja dengan senang.

Sejak itulah bunga kemuning mendapatkan namanya. Bahkan, bunga-bunga kemuning bisa digunakan untuk mengharumkan rambut. Batangnya dipakai untuk membuat kotak-kotak yang indah, sedangkan kulit kayunya dibuat orang menjadi bedak. Setelah mati pun, Puteri Kuning masih memberikan kebaikan.

Pesan Moral : Kebaikan akan membuahkan hal-hal yang baik, walaupun kejahatan sering kali menghalanginya.

Minggu, 09 November 2014

Asal Mula Gunung Tambora

Gunung Tambora


Asal mula nama Gunung Tambora menurut cerita turun temurun ada dua versi, yaitu: Pertama, berasal dari kata lakambore dari bahasa Bima yang berarti mau ke mana, untuk menanyakan tujuan bepergian kepada seseorang. Kedua, dari kata ta dan mbora, dari bahasa Bima, kata "ta" yang berarti mengajak, dan kata "mbora" yang berarti menghilang, sehingga arti kata Tambora secara keseluruhan yaitu mengajak menghilang.

Ini berasal dari cerita turun temurun, dahulu ada seseorang sakti yang pertama kali ke gunung tersebut (sekarang Gunung Tambora), bertapa dan tidak diketemukan lagi karena telah menghilang di gunung tersebut. Kalau istilah bahasa Jawa-nya moksa, yaitu menghilang jasadnya secara tiba-tiba dan bisa dilihat oleh orang-orang tertentu yang mempunyai kemampuan dalam melihat roh halus. Kemudian orang sakti yang menghilang tersebut pernah menampakkan diri di sebuah pulau yang terletak di sebelah barat laut Pulau Sumbawa juga dapat terlihat dari puncak Gunung Tambora. Maka pulau tersebut dinamai Pulau Satonda dari kata tonda yang berarti tanda/jejak kaki. Pulau tersebut dapat dilihat dari puncak Gunung Tambora, tampak dari atas berbentuk telapak kaki kanan manusia. Pulau Satonda sangat indah dengan pemandangannya yang masih alami, di tengah-tengah pulau tersebut terdapat danau yang jernih dan dikelilingi oleh tebing-tebing dari perbukitan yang masih alami. Diduga danau di Pulau Satonda tersebut mempunyai terowongan dari gua bawah laut menyambung dengan laut. Pulau Satonda dengan ketinggian antara 0 sampai 300 mdpl merupakan taman rekreasi (recreation park) dengan wilayah seluas 1.000 Ha mempunyai ciri-cirinya yang unik.

Sekarang pulau tersebut telah menjadi kawasan yang dilindungi (strict nature reserve). Pulau Satonda sangat baik untuk menjadi tempat untuk mempelajari hutan, karena hutan di pulau tersebut hancur akibat letusan Gunung Tambora pada tahun 1815. Juga banyak ditemukan jenis-jenis ikan yang baru dan hanya ditemukan di Danau Satonda saja. Pulau tersebut menjadi habitat sejumlah besar jenis-jenis burung yang dilindungi. Kesemua keindahan alam yang menjadi satu kesatuan menciptakan suatu fenomena indah, unik.

Pesona alam di Gunung Tambora makin menambah keelokan panorama alam Indonesia. Kita semua wajib untuk mengenali dan melestarikannya. Alam Indonesia menjadi obyek penelitian yang sangat menarik oleh para ilmuwan.

Bernice De Jong Boers, ilmuwan asal Denmark dalam makalah revisinya bertajuk "Mount Tambora in 1815: “A Volcanic Eruption in Indonesia and Its Aftermath" menggambarkan, Pulau Sumbawa sebelum meletusnya Gunung Tambora sebetulnya dalam keadaan cukup baik secara ekonomi. Jauh sebelumnya, di Sumbawa jauh lebih lebat hutannya. Ketika orang pertama datang, sebagian dari hutan ditebang untuk berladang.

Sekitar tahun 1400, orang- orang Jawa memperkenalkan cara bertanam padi di sawah dan mulai mengimpor kuda. Semakin lama jumlah penduduk berkembang. Orang mengandalkan hidup terutama dari beras, kacang hijau, dan kuda. Sementara dari perkebunan orang mengandalkan kopi, lada, dan kapas yang bisa tumbuh subur.

Di kawasan itu telah terdapat pula hubungan dagang. Pada masa itu Kerajaan Bima umumnya terbuka dari dunia luar. Dari segi ekonomi, perniagaan merupakan penghasilan utama dengan komoditas ekspor utama sebelum 1815 ialah beras, madu, kapas, dan kayu merah.

Setelah Tambora meletus, kesejahteraan yang terbangun itu runtuh. Saat itu terdapat enam kerajaan kecil di Pulau Sumbawa. Syair Kerajaan Bima menyebutkan dua kerajaan punah terkubur, yakni Pekat dan Tambora. Jauh setelah kejadian, muncul berbagai spekulasi bahwa terdapat istana kerajaan yang terpendam dengan beragam kekayaan. Apalagi dari penggalian yang dilakukan Sigurdsson dari Universitas Rhode Island, AS, dan tim dari Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi sempat ditemukan keramik-keramik yang diperkirakan bermotif Vietnam. Muncul pula dugaan hidupnya orang-orang berbahasa Mon-Khmer, bahasa yang tidak lazim dituturkan di Nusantara.

Asumsi-asumsi tersebut diragukan Bambang Budi Utomo, arkeolog dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, yang sempat mengunjungi lokasi penggalian Sigurdsson. "Istilah kerajaan di luar Pulau Jawa tidak dapat disamakan dengan kerajaan besar di Jawa yang kaya raya. Jadi, jangan dibayangkan istana kerajaan seperti istana raja-raja di Jawa. Selain itu, temuan keramik yang mempunyai kesamaan dengan tembikar dari kawasan Indocina bukan berarti menandakan hidup populasi pendukung budaya Khmer. Tembikar itu sepertinya buatan China dan dapat saja sampai di Tambora karena adanya perdagangan," kata Bambang. Dia menyayangkan penelitian tersebut tidak melibatkan para arkeolog.

Setelah letusan, keadaan di sekitar Tambora—terutama di Bima—pun berbalik. Tanah yang tak dapat ditanami selama lima tahun membuat kelaparan dan kemelaratan berkepanjangan.

Kini, berjalan di lereng Tambora, tentu berbeda suasananya. Rumput tebal mengisi permukaan tanah, yang hampir dua abad lalu berselimut abu vulkanik. Lereng gunung itu menghijau, dengan hutan serta semak yang rimbun. Tanah telah kembali memberi berkah. Sebagian besar penduduk di lereng Tambora hidup dari pertanian dan perkebunan. Ada pula yang menjadi pemandu naik gunung.

Asal Mula Sungai Ombilin Dan Danau Singkarak

Sungai Ombilin Dan Danau Singkarak


Alkisah, di sebuah kampung di daerah Sumatra Barat, hiduplah keluarga Pak Buyung. Ia tinggal di sebuah gubuk di pinggir laut bersama istri dan seorang anaknya yang masih kecil bernama Indra. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, Pak Buyung bersama istrinya mengumpulkan hasil-hasil hutan dan menangkap ikan di laut. Setiap pagi mereka pergi ke hutan di Bukit Junjung Sirih untuk mencari manau, rotan, dan damar untuk dijual ke pasar. Jika musim ikan tiba, mereka pergi ke laut menangkap ikan dengan menggunakan pancing, bubu ataupun jala.

Ketika sudah berumur sepuluh tahun, Indra sering membantu kedua orangtuanya ke hutan maupun ke laut. Betapa senang hati Pak Buyung dan istrinya mempunyai anak yang rajin seperti Indra. Namun, ada satu hal yang membuat mereka risau, karena si Indra memiliki suatu keanehan, yaitu selera makannya amatlah berlebihan. Dalam sekali makan, ia dapat menghabiskan nasi setengah bakul dengan lauk beberapa piring.

Pada suatu ketika, musim paceklik tiba. Baik hasil hutan maupun hasil laut sangat sulit diperoleh. Untuk itu, keluarga Pak Buyung harus berhemat terutama menahan selera makan. Mereka harus makan apa adanya. Jika tidak ada nasi, mereka makan ubi atau pun keladi (talas). Cukup lama musim paceklik berlangsung, sehingga mereka semakin kesulitan mendapatkan makanan. Hal itu rupanya membuat mereka lebih peduli pada diri sendiri daripada terhadap anaknya. Kesulitan mendapatkan makanan itu juga membuat mereka hampir berputus asa. Mereka sering bermalas-malasan pergi mencari rotan ke hutan dan mencari ikan ke laut.

Sudah beberapa hari keluarga Pak Buyung hanya makan ubi bakar. Tentu hal itu tidak mengenyangkan perut si Indra. Suatu hari, Indra menangis minta makanan kepada kedua orangtuanya.

“Ayah, carikan saya makanan! Saya sangat lapar,” keluh Indra.

“Hei, anak malas! Kalau kamu lapar carilah sendiri makanan ke hutan atau ke laut sana!” seru ayahnya dengan nada kesal.

“Pak! Bukankah anak kita masih kecil? Tentu dia belum bisa mencari makanan sendiri,` sahut sang Ibu.

“Iya, dia memang masih anak-anak. Tapi, dia yang paling banyak makannya,” bantah sang suami.

Mendengar bantahan suaminya itu, sang Istri pun diam. Ia kemudian membujuk Indra agar berangkat sendiri ke Bukit Junjung Sirih untuk mencari hasil-hasil hutan di Bukit. Indra pun menuruti nasehat ibunya. Sebelum berangkat ke hutan, Indra terlebih dahulu memberi makan seekor ayam piaraannya yang bernama Taduang. Si Taduang adalah seekor ayam yang pandai. Setiap kali tuannya (si Indra) pulang dari hutan, ia selalu berkokok menyambut kedatangan tuannya.




Menjelang siang, Indra pulang dari hutan tanpa membawa hasil. Keesokan harinya, ayahnya memerintahkannya pergi ke laut untuk memancing ikan. Saat Indra pergi ke laut, ayah dan ibunya hanya tidur-tiduran di gubuk. Tampaknya, mereka benar-benar sudah putus asa menghadapi kesulitan hidup. Keadaan demikian berlangsung selama sebulan, sehingga Indra merasa tubuhnya sangat lelah dan berniat untuk beristirahat beberapa hari.

Pada suatu hari, sepulang dari laut mencari ikan, Indra berkata kepada ayahnya:

“Ayah! Badanku terasa sangat letih. Bolehkah saya beristirahat untuk beberapa hari?” pinta Indra.

“Apa katamu? Dasar anak malas! Kamu tidak boleh beristirahat. Besok kamu harus tetap kembali ke laut mencari ikan,” ujar sang Ayah.

Karena tidak ingin membatah perintah ayahnya, keesokan harinya Indra pergi ke laut mencari ikan. Ketika Indra berangkat ke laut, secara diam-diam ibunya juga berangkat ke laut. Tapi, ia menuju ke sebuah tanjung, agak jauh dari tempat Indra mencari ikan. Sementara ayahnya pergi ke hutan.

Menjelang siang, Pak Buyung kembali dari hutan dengan membawa seikat ijuk. Sesampainya di rumah, ia melihat istrinya sedang membersihkan pensi (sejenis kerang berukuran kecil).

“Sedang apa, Bu?” tanya Pak Buyung kepada istrinya.

“Sedang membersihkan pensi, Pak! Tadi ketika hendak mencari ikan di laut, aku melihat banyak warga dari kampung tetangga sedang mencari pensi. Akhirnya aku pun ikut mencari pensi bersama mereka,” jawab istrinya.

“Bagaimana cara memasaknya? Bukankah Ibu belum pernah memasak pensi sebelumnya? ” tanya Pak Buyung.

“Tenang, Pak! Kata seorang warga dari kampung tetangga, daging pensi enak jika dimasak pangek[1],” jelas istrinya.

“Wah, kalau begitu, kita makan enak siang ini,” ucap Pak Buyung sambil mengusap-usap perutnya yang sudah keroncongan.

Setelah membersihkan pensi itu, sang Istri pun segera membuatkan bumbu dan memasaknya. Tak lama kemudian, aroma masakan pangek pun tercium oleh Pak Buyung.

“Wah, harum sekali aromanya. Istriku memang pintar memasak,” puji Pak Buyung seraya mendekati istrinya yang sedang masak di dapur.

“Bu, apakah pangek ini cukup kita makan bertiga?” tanya Pak Buyung.

“Tentu saja cukup,” jawab istrinya.

“Apakah Ibu sudah lupa kalau si Indra makannya banyak? Pangek ini pasti tidak cukup dia makan sendiri,” kata Pak Buyung.

`Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan, Pak?” tanya istrinya.

“Bagaimana kalau kita makan diam-diam, selagi si Indra masih berada di laut,” saran Pak Buyung.

“Tapi, sebentar lagi dia pulang,” kata istrinya.

“Kalau dia pulang, pasti akan ketahuan.,” ucap Pak Buyung.

“Bagaimana Bapak bisa mengetahuinya!” tanya istrinya.

“Jika si Taduang berkokok, berarti si Indra telah pulang,” jawab Pak Buyung.

Sang Istri pun mengangguk-angguk mendengar jawaban suaminya. Keduanya pun menyantap pangek itu dengan lahapnya. Namun, baru makan beberapa suap, tiba-tiba ayam peliharaan Indra berkokok. Mendengar kokok ayam itu, kedua suami-istri itu segera mencuci tangan, lalu membereskan makanan dan menyembunyikannya di bawah tempat tidur. Ketika Indra masuk ke gubuk, ia melihat kedua orangtuanya sedang duduk-duduk bersantai. Kedua orangtuanya terlihat tenang, seakan-akan tidak ada sesuatu yang terjadi.

“Hei, Indra! Mana ikan yang kamu peroleh?” tanya ayahnya.

“Maaf, Ayah! Hari ini aku tidak memperoleh ikan?” jawab Indra dengan wajah kusut.

“Kenapa kamu pulang kalau belum memperoleh ikan?” tanya ayahnya.

“Maaf, Ayah! Saya sangat letih dan lapar,” jawab Indra.

“Hei, apa yang bisa kamu makan kalau tidak memperoleh ikan?” sang Ayah kembali bertanya.

“Saya sudah berusaha, Ayah. Tapi belum berhasil,” jawab Indra.

“Ayah, Ibu! Adakah sesuatu yang bisa saya makan. Sekedar pengganjal perut,” pinta Indra kepada kedua orangtuanya.

“Tidak! Hari ini tidak ada makanan untuk anak pemalas,” kata ayahnya.

“Tapi, Ayah! Saya lapar sekali,” keluh Indra sambil memegang perutnya.

“Baiklah! Kamu boleh makan, tapi kamu harus mencuci ijuk ini sampai bersih,” sahut ibunya sambil menyerahkan ijuk yang tadi dibawa suaminya dari hutan.

Indra pun segera pergi ke laut mencuci ijuk itu karena ingin mendapatkan makanan dari kedua orangtuanya. Ketika Indra berangkat ke laut, kedua orangtuanya kembali melanjutkan acara makan mereka.

“Wah, meskipun baru kali ini Ibu memasak pangek pensi, tapi rasanya lezat sekali,” sanjung Pak Buyung kepada istrinya.

Sang Istri tersenyum mendengar sanjungan suaminya. Kemudian sepasang suami istri itu makan pangek dengan lahapnya. Mereka baru berhenti makan setelah perut mereka benar-benar sudah penuh. Selesai makan, mereka kembali menyembunyikan makanan yang masih tersisa di bawah tempat tidur. Tidak beberapa lama kemudian, si Taduang terdengar berkokok, pertanda tuannya telah kembali dari laut. Ketika masuk ke dalam gubuk, Indra melihat kedua orangtuanya masih sedang duduk bersantai.

“Bagaimana? Apakah ijuk itu sudah bersih kamu cuci?” tanya ibunya.

“Sudah, Bu,” jawab Indra sambil meletakkan ijuk itu di depan ibunya.

“Hah! Kenapa masih hitam begini? Kamu harus mencucinya hingga berwarna putih,” ujar ibunya.

“Tapi, Bu! Aku sudah berusaha mencucinya berkali-kali, bahkan aku menggosoknya dengan campuran pasir, tapi masih tetap berwarna hitam,” sanggah Indra.

“Ah, alasan saja! Cuci lagi ijuk itu ke laut!” seru ayahnya.

Dengan langkah sempoyongan, Indra pun kembali ke laut. Sesampainya di laut, ia terus berusaha mencuci dan menggosok ijuk itu hingga berkali-kali, tetapi tetap saja berwarna hitam. Rupanya Indra yang masih anak-anak tidak mengetahui jika ijuk itu memang pada dasarnya berwarna hitam. Meskipun ijuk itu berkali-kali dicuci dan digosok, tentu tidak akan pernah berwarna putih.

Menjelang senja, Indra kembali ke gubuknya. Ketika masuk ke ruang tengah gubuknya, ia tidak lagi melihat kedua orangtuanya duduk-duduk. Dengan pelan-pelan, ia melangkah menuju ke ruang dapur. Betapa terkejutnya ia ketika melihat kedua orangtuanya sedang tertidur pulas di ruang dapur. Di sekeliling mereka berserakan piring makan, bakul nasi, dan panci pangek pensi yang telah kosong. Hanya kuah dengan beberapa cuil daging pensi yang tersisa.

Alangkah sedihnya hati Indra menyaksikan semua itu. Kini ia menyadari bahwa kedua orangtuanya telah menipu dan membohonginya. Namun, sebagai anak yang berbakti, dia tidak ingin marah kepada mereka yang telah melahirkannya. Ia pun berjalan keluar dari gubuknya sambil mengusap air mata yang menetes di pipinya. Saat berada di luar gubuk, ia langsung menangkap ayam kesayangannya, si Taduang. Kemudian ia duduk di atas batu di samping gubuknya sambil mengusab-usap bulu si Taduang.

“Taduang! Rupanya Ayah dan Ibuku telah menipuku. Untuk apalagi aku tinggal bersama mereka di sini, kalau mereka sudah tidak menyayangiku lagi,” kata Indra kepada ayamnya.

Mendengar pernyataan Indra, ayam itu pun berkokok berkali-kali, pertanda bahwa ia mengerti perasaan tuannya. Si Taduang kemudian mengepak-ngepakkan sayapnya. Indra pun mengerti bahwa ayam kesayangannya itu akan mengajaknya pergi meninggalkan kampung itu. Dengan cepat, Indra pun segera berpegangan pada kaki si Taduang. Beberapa saat kemudian, si Taduang terbang ke udara, sementara Indra tetap berpegangan pada kakinya. Saat tubuh Indra terangkat, batu tempat Indra duduk itu juga ikut terangkat. Anehnya, semakin tinggi mereka terbang, batu itu semakin membesar. Akhirnya, si Taduang pun sudah tidak kuat lagi membawa terbang si Indra bersama batu besar itu. Melihat hal itu, Indra pun segera menyentakkan kakinya, sehingga batu besar itu melesat menuju ke bumi dan menghantam salah satu bukit yang ada di sekitar lautan. Hantaman batu itu membentuk sebuah lubang memanjang. Dengan cepat, air laut pun mengalir ke arah lubang itu dan menembus bukit, sehingga membentuk aliran sungai.

Konon, itulah yang menjadi asal mula Sungai Batang Ombilin, yang bermuara ke daerah Riau. Semakin lama air laut itu semakin menyusut, sehingga lautan itu berubah menjadi Danau Singkarak yang hingga kini menjadi kebanggaan masyarakat Solok. Sementara Indra yang diterbangkan oleh ayam kesayangannya, si Taduang, hingga kini tidak diketahui keberadaannya.

Jumat, 07 November 2014

The Story Of Qabil And Habil

Qabil And Habil


Adam had two sons called Habil and Qabil. Adam thought that Habil, the younger son, should take over after him. But Qabil didn't like this idea and was very jealous. To settle the argument Adam thought of an idea. He told his sons to think of a present to give to Allah and to leave it on top of a certain hill.

The one whose present Allah accepted, would win the argument. Allah chose Habil's present because Habil had taken a lot of time and trouble to choose his present.

Qabil was very upset and angry. He was so angry that he killed his own brother. Afterwards, when he realised what he had done, he cried and cried but it was too late to be sorry.

The Story Of Prophet Shaleh

Prophet Shaleh


The people of Thamud lived in a valley called al-Hajr in the north of Arabia. It was a good land
so everything grew very easily. Cattle and sheep grazed on the land. Everyone had plenty of everything.

When people have a lot they sometimes forget who provides everything, they sometimes forget Allah. When this happens Allah sends a messenger or a prophet to try to help the people.

To the people of Thamud, Allah sent Salih. Salih told the people to remember Allah but a lot of people just laughed at him and would not listen. He did not give up. He still tried to persuade them to worship Allah and soon people began to listen. They realised Salih was right.

The leaders of Thamud were upset by this. They did not want people to listen to Salih. They did not believe Salih was sent by Allah. They wanted him to prove it, they wanted a sign. They told Salih to bring them a camel but it had to be a special camel.

Salih prayed to Allah and Allah sent the special camel. The camel gave lots and lots of milk so all the poor people had enough to drink, and they were very happy. The leaders of Thamud became angry again to see Salih and his followers so happy. They decided to kill the camel.

Salih told them that Allah would punish them. Salih took all the good people away from the valley. A terrible earthquake came and destroyed the valley and all the bad people. If they had listened to Salih they would have been saved.

Senin, 03 November 2014

Cerita Rakyat Si Lancang Kuning

Si Lancang Kuning


Konon, pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang wanita miskin dengan anak laki-lakinya yang bernama si Lancang. Mereka berdua tinggal di sebuah gubuk reot di sebuah negeri bernama Kampar. Ayah si Lancang sudah lama meninggal dunia. Emak Lancang bekerja menggarap ladang orang lain, sedangkan si Lancang menggembalakan ternak tetangganya.

Pada suatu hari, si Lancang betul-betul mengalami puncak kejenuhan. Ia sudah bosan hidup miskin. Ia ingin bekerja dan mengumpulkan uang agar kelak menjadi orang kaya. Akhirnya ia pun meminta izin emaknya untuk pergi merantau ke negeri orang. “Emak, Lancang sudah tidak tahan lagi hidup miskin. Lancang ingin pergi merantau, Mak!” mohon si Lancang kepada emaknya. Walaupun berat hati, akhirnya emaknya mengizinkan si Lancang pergi. “Baiklah, Lancang. Kau boleh merantau, tetapi jangan lupakan emakmu. Jika nanti kau sudah menjadi kaya, segeralah pulang,” jawab Emak Lancang mengizinkan.

Mendengar jawaban dari emaknya, si Lancang meloncat-loncat kegirangan. Ia sudah membayangkan dirinya akan menjadi orang kaya raya di kampungnya. Ia tidak akan lagi bekerja sebagai pengembala ternak yang membosankan itu. Emak Lancang hanya terpaku melihat si Lancang meloncat-loncat. Ia ia tampaknya sedih sekali akan ditinggal oleh anak satu-satunya. Melihat ibunya sedih, si Lancang pun berhenti meloncat-lonta, lalu mendekati emaknya dan memeluknya. “Janganlah bersedih, Mak. Lancang tidak akan melupakan emak di sini. Jika nanti sudah kaya, Lancang pasti pulang Mak,” kata si Lancang menghibur emaknya. Emaknya pun menjadi terharu mendengar ucapan dan janji si Lancang, dan hatinya pun jadi tenang. Lalu si Emak berkata, “Baiklah Nak! Besok pagi-pagi sekali kamu boleh berangkat. Nanti malam Mak akan membuatkan lumping dodak untuk kamu makan di dalam perjalanan nanti.”

Keesokan harinya, si Lancang pergi meninggalkan kampung halamannya. Emaknya membekalinya beberapa bungkus lumping dodak makanan kesukaan si Lancang.

Bertahun-tahun sudah si Lancang di rantauan. Akhirnya ia pun menjadi seorang pedagang kaya. Ia memiliki berpuluh-puluh kapal dagang dan ratusan anak buah. Istri-istrinya pun cantik-cantik dan semua berasal dari keluarga kaya pula. Sementara itu, nun jauh di kampung halamannya, emak si Lancang hidup miskin seorang diri.

Suatu hari si Lancang berkata kepada istri-istrinya berlayar bahwa dia akan mengajak mereka berlayar ke Andalas. Istri-istrinya pun sangat senang. “Kakanda, bolehkah kami membawa perbekalan yang banyak?” tanya salah seorang istri Lancang. “Iya…Kakanda, kami hendak berpesta pora di atas kapal,” tambah istri Lancang yang lainnya. Si Lancang pun mengambulkan permintaan istri-istrinya tersebut. “Wahai istri-istriku! Bawalah perbekalan sesuka kalian,” jawab si Lancang. Mendengar jawaban dari si Lancang, mereka pun membawa segala macam perbekalan, mulai dari makanan hingga alat musik untuk berpesta di atas kapal. Mereka juga membawa kain sutra dan aneka perhiasan emas dan perak untuk digelar di atas kapal agar kesan kemewahan dan kekayaan si Lancang semakin tampak.

Sejak berangkat dari pelabuhan, seluruh penumpang kapal si Lancang berpesta pora. Mereka bermain musik, bernyanyi, dan menari di sepanjang pelayaran. Hingga akhirnya kapal si Lancang yang megah merapat di Sungai Kampar, kampung halaman si Lancang. “Hai …! Kita sudah sampai …!” teriak seorang anak buah kapal.

Penduduk di sekitar Sungai Kampar berdatangan melihat kapal megah si Lancang. Rupanya sebagian dari mereka masih mengenal wajah si Lancang. “Wah, si Lancang rupanya! Dia sudah jadi orang kaya,” kata guru mengaji si Lancang. “Megah sekali kapalnya. Syukurlah kalau dia masih ingat kampung halamannya ini,” kata teman si Lancang sewaktu kecil. Dia lalu memberitahukan kedatangan si Lancang kepada emak si Lancang yang sedang terbaring sakit di gubuknya.

Betapa senangnya hati emak si Lancang saat mendengar kabar anaknya datang. “Oh, akhirnya pulang juga si Lancang,” seru emaknya dengan gembira. Dengan perasaan terharu, dia bergegas bangkit dari tidurnya, tak peduli meski sedang sakit. Dengan pakaian yang sudah compang-camping, dia berjalan tertatih-tatih untuk menyambut anak satu-satunya di pelabuhan.

Sesampainya di pelabuhan, emak si Lancang hampir tidak percaya melihat kemegahan kapal si Lancang anaknya. Dia tidak sabar lagi ingin berjumpa dengan anak satu-satunya itu. Dengan memberanikan diri, dia mencoba naik ke geladak kapal mewahnya si Lancang. Saat hendak melangkah naik ke geladak kapal, tiba-tiba anak buah si Lancang menghalanginya. “Hai perempuan jelek! Jangan naik ke kapal ini. Pergi dari sini!” usir seorang anak buah kapal si Lancang. “Tapi …, aku adalah emak si Lancang,” jelas perempuan tua itu.

Mendengar kegaduhan di atas geladak, tiba-tiba si Lancang yang diiringi oleh istri-istrinya tiba-tiba muncul dan berkata, “Bohong! Dia bukan emakku. Usir dia dari kapalku,” teriak si Lancang yang berdiri di samping istri-istrinya. Rupanya ia malu jika istri-istrinya mengetahui bahwa wanita tua dan miskin itu adalah emaknya.

“Oh, Lancang …, Anakku! Emak sangat merindukanmu, Nak …,” rintih emak si Lancang. Mendengar rintihan wanita tua renta itu, dengan congkaknya si Lancang menepis, lalu berkata, “manalah mungkin aku mempunyai emak tua dan miskin seperti kamu.” Kemudian si Lancang berteriak, “Kelasi! Usir perempuan gila itu dari kapalku!” Anak buah si Lancang mengusir emak si Lancang dengan kasar. Dia didorong hingga terjerembab. Kasihan sekali Emak Lancang. Sudah tua, sakit-sakitan pula. Sungguh malang nasibnya. Hatinya hancur lebur diusir oleh anak kandungnya sendiri. Dengan hati sedih, wanita tua itu pulang ke gubuknya. Di sepanjang jalan dia menangis. Dia tidak menyangka anaknya akan tega berbuat seperti itu kepadanya.

Sesampainya di rumah, wanita malang itu mengambil lesung dan nyiru pusaka. Dia memutar-mutar lesung itu dan mengipasinya dengan nyiru sambil berdoa, “Ya, Tuhanku. Si Lancang telah kulahirkan dan kubesarkan dengan air susuku. Namun setelah kaya, dia tidak mau mengakui diriku sebagai emaknya. Ya Tuhan, tunjukkan padanya kekuasaan-Mu!”

Dalam sekejap, tiba-tiba angin topan berhembus dengan dahsyat. Petir menggelegar menyambar kapal si Lancang. Gelombang Sungai Kampar menghantam kapal si Lancang hingga hancur berkeping-keping. Semua orang di atas kapal itu berteriak kebingungan, sementara penduduk berlarian menjauhi sungai.

“Emaaak …, si Lancang anakmu pulang. Maafkan aku, Maaak!” terdengar sayup-sayup teriakan si Lancang di tengah topan dan badai. Namun, malapetaka tak dapat dielakkan lagi. Si Lancang dan seluruh istri dan anak buahnya tenggelam bersama kapal megah itu.

Barang-barang yang ada di kapal si Lancang berhamburan dihempas badai. Kain sutra yang dibawa si Lancang dalam kapalnya melayang-layang. Kain itu lalu berlipat dan bertumpuk menjadi Negeri Lipat Kain yang terletak di Kampar Kiri. Sebuah gong terlempar dan jatuh di dekat gubuk emak si Lancang di Rumbio, menjadi Sungai Ogong di Kampar Kanan. Sebuah tembikar pecah dan melayang menjadi Pasubilah yang letaknya berdekatan dengan Danau si Lancang. Di danau itulah tiang bendera kapal si Lancang tegak tersisa. Bila sekali waktu tiang bendera kapal si Lancang itu tiba-tiba muncul ke permukaan danau, maka pertanda akan terjadi banjir di Sungai Kampar. Banjir itulah air mata si Lancang yang menyesali perbuatannya karena durhaka kepada emaknya.

Sejak peritiwa itu, masyarakat Kampar meyakini bahwa meluapnya sungai Kampar bukan saja disebabkan oleh tingginya curah hujan di daerah ini, tetapi juga disebabkan oleh munculnya tiang kapal si Lancang di Danau Lancang. Kabupaten Kampar yang masuk dalam wilayah Propinsi Riau ini, sangat rawan dengan banjir. Hampir setiap tahun Sungai Kampar meluap, sehingga menyebabkan banjir besar yang bisa merendam pemukiman penduduk di sekitarnya.

Cerita Rakyat Legenda Ikan Patin

Legenda Ikan Patin


Ikan patin adalah salah satu jenis ikan sungai atau air tawar. Ikan jenis ini memiliki bentuk yang unik. Badannya panjang sedikit memipih, berwana putih perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan, tidak bersisik, mulutnya kecil, memiliki sungut berjumlah 2-4 pasang yang berfungsi sebagai alat peraba. Ikan patin termasuk ikan yang hidup di dasar sungai dan lebih banyak mencari makan pada malam hari.

Ikan patin banyak dijumpai di Provinsi Riau, Indonesia. Menurut masyarakat setempat, dulunya ikan ini hanya ada di daerah aliran Sungai Indragiri, Sungai Siak, Sungai Kampar, dan Sungai Rokan. Ikan patin yang asli adalah berasal dari sungai dan memiliki aroma khas. Selain itu, ikan patin yang dari sungai biasanya memiliki ukuran lebih panjang dan lebih berat. Pada era tahun 1970-an hingga 1980-an, masyarakat Riau masih sering menjumpai ikan patin yang panjangnya sampai satu meter lebih.

Kini, ikan patin yang asli dari sungai sudah jarang dijumpai. Maka sejak 10 tahun terakhir, budidaya ikan patin sudah mulai ramai dilakukan oleh masyarakat Riau. Namun, hasilnya sangat berbeda dengan ikan asli dari sungai. Ikan patin hasil budidaya ukurannya lebih pendek dan ringan, rata-rata hanya sepanjang 25-50 centimeter dengan berat kurang dari satu kilogram dan terkadang masih berbau tanah. Walaupun demikian, jika ikan patin tersebut dimasak dengan bumbu yang benar, mencium aromanya saja sudah mampu menggugah selera bagi penikmatnya. Oleh karenanya, di sejumlah warung makan di Riau, menu masakan ikan patin menjadi salah satu menu favorit khas Melayu, khususnya masakan gulai ikan patin dan asam pedas ikan patin.

Namun, senikmat dan segurih apa pun ikan patin, tidak semua orang Melayu mau memakannya. Kenapa sebagian orang Melayu tidak mau memakan ikan patin? Mereka menganggap ikan patin itu sebagai keluarga atau leluhurnya. Terkait dengan hal ini, ada sebuah cerita rakyat yang telah melegenda di kalangan masyarakat Riau. Cerita rakyat tersebut mengisahkan seorang nelayan yang bernama Awang Gading, yang menemukan seorang bayi perempuan di atas batu di tepi sungai saat ia pulang memancing. Konon, bayi itu adalah keturunan raja ikan di sungai tersebut. Oleh karena merasa iba, si nelayan membawa bayi itu pulang ke rumahnya untuk ia rawat dan besarkan. Bayi itu diberinya nama Dayang Kumunah. Selama dalam asuhannya, si Nelayan membekali Dayang Kumunah dengan berbagai ilmu pengetahuan dan budi pekerti yang baik, sehingga ia pun tumbuh menjadi seorang gadis cantik yang cerdas dan berbudi pekerti luhur. Setiap pemuda yang melihatnya akan terpikat kepadanya.

Pada suatu hari, seorang pemuda tampan dan kaya yang bernama Awangku Usop lewat di depan rumah Dayang Kumunah. Pemuda itu melihatnya sedang menjemur pakaian. Saat itu pula, Awangku Usop langsung jatuh hati kepada Dayang Kumunah dan berniat memperistrinya. Beberapa hari kemudian, Awangku Usop datang ke rumah Dayang Kumunah untuk meminangnya. Dayang Kumunah bersedia menerima pinangan Awang Usop, asalkan ia juga bersedia memenuhi syaratnya. Syarat apa yang akan diajukan Dayang Kumunah kepada Awang Usop? Mampukah Awang Usop memenuhi syarat itu? Ingin tahu kisah selengkapnya? Ikuti kisahnya dalam cerita Legenda Ikan Patin berikut ini.



Alkisah, pada zaman dahulu kala, di Tanah Melayu hiduplah seorang nelayan tua yang bernama Awang Gading. Ia tinggal seorang diri di tepi sebuah sungai yang luas dan jernih. Walaupun hidup seorang diri, Awang Gading selalu merasa bahagia. Ia mensyukuri setiap nikmat yang diberikan Tuhan kepadanya. Pekerajaan sehari-harinya adalah menangkap ikan di sungai dan mencari kayu di hutan.

Suatu sore, sepulang dari hutan, Awang Gading pergi mengail di sungai. “Ah, semoga hari ini aku mendapat ikan besar,” gumam Awang Gading. Usai melemparkan kailnya ke dalam air, ia berdendang sambil menunggu kailnya. Berapa saat kemudian, umpannya pun di makan ikan. Dengan hati-hati disentakkannya kail itu. Apa yang terjadi? Ternyata ikannya terlepas. Lalu dipasangnya lagi umpan pada mata kailnya. Berkali-kali umpannya di makan ikan, namun saat kailnya ditarik, ikannya terlepas lagi.

“Air pasang telan ke insang
Air surut telan ke perut
Renggutlah…!
Biar putus jangan rabut,”

terdengar dendang Awang Gading sambil melempar pancingnya kembali.

Hari sudah mulai gelap. Namun, tak seekor ikan pun yang diperolehnya. “Rupanya, aku belum beruntung hari ini,” gumam Awang Gading. Usai bergumam, Awang Gading pun bergegas pulang. Namun, baru saja melangkah, tiba-tiba ia mendegar tangisan bayi. Dengan perasaan takut, Awang Gading mencari asal suara itu. Tak lama mencari, ia pun menemukan bayi perempuan yang mungil tergolek di atas batu. Tampaknya bayi itu baru saja dilahirkan oleh ibunya. Anak siapa gerangan? Kasihan, ditinggal seorang diri di tepi sungai,” Ucap Awang Gading dalam hati. Oleh karena merasa iba, dibawanya bayi itu pulang ke gubuknya.

Malam itu juga Awang Gading membawa bayi ke rumah tetua kampung. “Awang, berbahagialah, karena kamu dipercaya raja penghuni sungai untuk memelihara anaknya. Rawatlah ia dengan baik,” Tetua Kampung berpesan. “Terima kasih, Tetua! Saya akan merawat bayi ini dengan baik. Semoga kelak menjadi anak yang cerdas dan berbudi pekerti yang baik,” jawab Awang Gading mengharap.

Keesokan harinya, Awang Gading mengadakan selamatan atas hadirnya bayi di tengah kehidupannya. Ia mengundang seluruh tetangganya. Awang Gading memberi nama bayi itu Dayang Kumunah. Usai acara tersebut, Awang Gading menimang-nimang sang bayi sambil mendendang, “Dayang sayang, anakku seorang…Cepatlah besar menjadi gadis dambaan.”

Kehadiran Dayang Kumunah dalam kehidupannya, membuat Awang Gading semakin giat bekerja. Ia sangat sayang dan perhatian terhadap Dayang. Awang Gading juga membekali Dayang Kumunah berbagai ilmu pengetuhan dan pelajaran budi pekerti. Setiap hari ia juga mengajak Dayang pergi mengail atau mencari kayu di hutan untuk mengenal kehidupan alam lebih dekat.

Waktu terus berjalan. Dayang Kumunah tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dan berbudi pekerti luhur. Ia juga sangat rajin membantu ayahnya. Namun sayang, Dayang Kumunah tidak pernah tertawa.

Suatu hari, seorang pemuda tampan dan kaya lewat di depan rumah Dayang. Pemuda itu bernama Awangku Usop. Saat melihat Dayang Kumunah sedang menjemur pakaian, Awangku Usop langsung jatuh hati kepadanya dan berniat untuk segera meminangnya.

Beberapa hari kemudian, Awangku Usop meminang Dayang Kumunah pada Awang Gading.

“Maaf, Tuan! Nama saya Awangku Usop. Saya dari desa sebelah,” kata Usop memperkenalkan diri.

“Ada apa gerangan, Ananda Awangku Usop?” tanya Awang Gading.

“Saya ke mari hendak meminang putri Tuan” pinang Awangku Usop.

Awang Gading tidak langsung memberikan jawaban. Keputusannya ada pada Dayang Kumunah. Lalu ia meminta pendapat Dayang Kumunah. “Anakku, Dayang! Bagaimana pendapatmu tentang pinangan Awangku Usop?” tanya Awang Gading pada Dayang yang sedang duduk di sampingya. Dayang Kumunah langsung menanggapi pinangan pemuda itu. “Kanda Usop, sebenarnya kita berasal dari dua dunia yang berbeda. Saya berasal dari sungai dan mempunyai kebiasaan yang berlainan dengan manusia. Saya bersedia menjadi istri kanda Usop, tetapi dengan syarat, jangan pernah meminta saya untuk tertawa,” pinta Dayang Kumunah. Awangku Usop menyanggupi syarat itu. “Baiklah! Saya berjanji untuk memenuhi syarat itu,” kata Awangku Usop.

Seminggu kemudian, mereka pun menikah. Pesta pernikahan mereka berlangsung meriah. Semua kerabat dan tetangga kedua mempelai diundang. Para undangan turut gembira menyaksikan kedua pasangan yang serasi tersebut. Dayang Kumunah gadis yang sangat cantik dan Awangku Usop seorang pemuda yang sangat tampan. Mereka pun hidup berbahagia, saling mencintai dan saling menyayangi.

Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Beberapa minggu setelah mereka menikah, Awang Gading meninggal dunia karena sakit. Dayang Kumunah sangat sedih kehilangan ayah yang telah mendidik dan membesarkannya, meskipun bukan ayah kandungnya sendiri. Hingga berbulan-bulan lamanya, hati Dayang Kumunah diselimuti perasaan sedih. Untungnya, kesedihan itu segera terobati dengan kelahiran anak-anaknya yang berjumlah lima orang. Kehadiran mereka telah menghapus ingatan Dayang Kumunah kepada “ayahnya”. Ia pun kembali bahagia hidup bersama suami dan kelima anaknya.

Namun, Awang Usop merasa kebahagiaan mereka kurang lengkap sebelum melihat Dayang Kumunah tertawa. Memang, sejak pertama kali bertemu hingga kini, Awang Usop belum pernah melihat istrinya tertawa.

Suatu sore, Dayang Kumunah berkumpul bersama keluarganya di teras rumah. Saat itu, si Bungsu mulai dapat berjalan dengan tertatih-tatih. Semua anggota keluarga tertawa bahagia melihatnya, kecuali Dayang Kumunah. Awang Usop meminta istrinya ikut tertawa. Dayang Kumunah menolaknya, namun suaminya terus mendesak. Akhirnya ia pun menuruti keinginan suaminya. Saat tertawa itulah, tiba-tiba tampak insang ikan di mulutnya. Menyadari hal itu, Dayang Kumunah segera berlari ke arah sungai. Awangku Usop beserta anak-anaknya heran dan mengikutinya.

Sesampainya di tepi sungai, perlahan-lahan tubuh Dayang Kumunah menjelma menjadi ikan dan segera melompat ke dalam air. Awang Usop pun baru menyadari kekhilafannya. “Maafkan aku, istriku! Aku sangat menyesal telah melanggar janjiku sendiri, karena memintamu untuk tertawa. Kembalilah ke rumah, istriku!” bujuk Awangku Usop.

Namun, semua sudah terlambat. Dayang Kumunah telah terjun ke sungai. Ia telah menjadi ikan dengan bentuk badan cantik dan kulit mengilat tanpa sisik. Mukanya menyerupai raut wajah manusia. Ekornya seolah-olah sepasang kaki manusia yang bersilang. Orang-orang menyebutnya ikan patin.

Sebelum menyelam ke dalam air, Dayang Kumunah berpesan kepada suaminya, “Kanda, peliharalah anak-anak kita dengan baik.”

Awangku Usop dan anak-anaknya sangat bersedih melihat Dayang Kumunah yang sangat mereka cintai itu telah menjadi ikan. Mereka pun berjanji tidak akan makan ikan patin, karena dianggap sebagai keluarga mereka. Itulah sebabnya sebagian orang Melayu tidak makan ikan patin.